Washington (ANTARA News) - Penjualan pesawat perang, sistem anti misil, dan senjata-senjata mahal lain dari Amerika Serikat (AS) ke negara-negara tetangga China dan Korea Utara diperkirakan akan tumbuh signifikan di tengah kegelisahan keamanan regional.

Menambah kekuatan sekutu di Asia Pasifik adalah poros utama kebijakan luar negeri AS di wilayah yang terguncang karena perebutan wilayah maritim (dalam kasus China) dan program senjata nuklir (dalam kasus Korea Utara).

Poros kebijakan luar negeri ini "akan menghasilkan tumbuhnya kesempatan untuk industri senjata dalam negeri," kata wakil presiden Aerospace Industries Association, Fred Downey.

Asosiasi tersebut memperkirakan untuk senjata dari AS akan tetap tinggi dalam beberapa tahun ke depan.

Menurut Downey, ketakutan akan pengeluaran militer China yang terus meningkat seharusnya sudah cukup untuk mamacu penjualan senjata AS ke negara-negara Asia Selatan dan Asia Timur.

Secara keseluruhan, 78 persen dari kesepakatan penjualan senjata di seluruh dunia pada 2011 dikuasai AS dengan nilai 66,3 milyar dolar AS.

Arab Saudi menjadi pembeli terbesar dengan kesepakatan senilai 33,4 milyar dolar AS, sementara India diperingkat kedua dengan nilai 6,9 milyar dolar AS.



Pemilu Desember



Hasil pemilu di Jepang dan Korea Selatan yang menghasilkan pemimpin konservatif pro AS juga diperkirakan dapat menambah angka penjualan senjata.

Pemerintah Obama sendiri mengatakan bahwa posisi penjualan senjata menjadi bertambah penting dan merupakan langkah hemat untuk mempertahankan kepentingan AS di kawasan Asia Pasifik.

Pembelian senjata dari AS sangat dihargai oleh Washington karena hal itu dapat membantu pertempuran di tempat-tempat seperti Afghanistan dan membantu sekutu mempertahankan diri sendiri.

"Secara potensial penjualan senjata ini dapat mengurangi beban AS (sebagai polisi dunia)," kata salah satu pejabat teras Departemen Luar Negeri, Andrew Shapiro.

Pentagon sendiri sedang berusaha untuk meningkatkan kemampuan intelejen di Asia Pasifik dengan memproduksi pesawat-pesawat tak berawak.

Di sisi lain, beberapa kontraktor senjata seperti Lockheed, Boeing, Northrop dan Raytheon Co berharap permintaan di Asia Pasifik dapat mengimbangi berkurangnya pembelian senjata dari Pentagon yang harus menghadapi pengurangan anggaran.

Pada Desember lalu, pemerintah AS secara formal mengusulkan penjualan pesawat mata-mata bernama "Global Hawk" pada Korea Selatan dengan nilai 1,2 milyar dolar AS.

Usulan kepada Kongres itu muncul hanya dua minggu setelah Korea Utara meluncurkan roket jarak jauh yang merupakan kemajuan besar dalam program misil negara itu.

Sementara itu Jepang juga muncul sebagai sekutu AS paling penting dalam pembuatan perisai berlapis yang mempu melindungi dari senjata misil model apa pun.

Pemerintah AS memberi tahu Kongres dua hari sebelum peluncuran roket oleh Pyongyang bahwa Tokyo menginginkan perbaikan sistem "Aegis" untuk melindungi diri dari serangan senjata misil.

Penawaran paling terbaru dari AS sekarang ini adalah pesawat tempur F-35 Joint Strike Fighter, yang tiga variannya menjadi program senjata paling mahal dari Pentagon.

Jepang sudah terlebih dulu membeli F-35 untuk menggantikan F-4 yang sudah tua, dalam kesepakatan senilai lima milyar dolar AS. Pesawat yang sama juga diinginkan oleh Singpura dan Korea Selatan.

Di Asia Selatan, penjualan senjata AS ke India sekarang sudah bernilai delapan milyar dolar AS, padahal tahun 2008 nilainya hampir nol. India berencana untuk menghabiskan sekitar 100 milyar dolar AS selama 10 tahun ke depan untuk memperbaharui persenjataannya, sebagai cara untuk mengimbangi China.

India dan China pernah berkonflik dalam perang singkat tahun 1962 karena persoalan perbatasan.

(G005)