Jakarta (ANTARA) - Technologia idealis est technologia quae homines recordari facit Deum. Technologia, quae homines oblivisci Deum facit, derelinquetur et peribit. Teknologi ideal adalah teknologi yang membuat manusia mengingat Allah. Teknologi yang membuat manusia melupakan Allah akan ditinggalkan dan musnah.

Pada era yang semakin maju ini, perkembangan teknologi semakin pesat dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Aplikasi teknologi yang sedang berkembang dengan pesat dan populer adalah kecerdasan buatan (AI), metaverse, dan ChatGPT.

Kecerdasan buatan adalah teknologi yang memungkinkan mesin untuk melakukan tugas-tugas seperti halnya manusia, seperti mengenali suara atau bahasa, melakukan perhitungan matematis, atau bahkan mengambil keputusan. Sedangkan, metaverse atau metamesta adalah sebuah dunia virtual yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dan mengalami pengalaman yang tidak terbatas.

Dalam perkembangan teknologi AI dan metaverse, penting untuk mempertimbangkan aspek Etika Digital 5.0. Etika Digital 5.0 merupakan sebuah pandangan baru dalam melihat penggunaan teknologi dalam kehidupan manusia. Etika Digital 5.0 mengedepankan aspek keamanan, privasi, dan nilai-nilai etis dalam setiap penggunaan teknologi, termasuk AI, metaverse, dan ChatGPT.

Peran Chat GPT dalam etika Digital 5.0 juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Chat GPT adalah sebuah aplikasi yang mampu menghasilkan teks berdasarkan data yang telah dimasukkan ke dalam sistem. Aplikasi ini sering digunakan dalam pembuatan konten digital, seperti artikel atau naskah, namun dapat menimbulkan beberapa masalah dalam konteks etika Digital 5.0.


Kecerdasan buatan

Pengembangan AI dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari harus mempertimbangkan aspek etika Digital 5.0. Contohnya, dalam pengembangan teknologi kendaraan otonom, harus dipertimbangkan aspek keamanan dan privasi pengguna. Selain itu, keputusan yang diambil oleh AI harus dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipahami oleh manusia.

Tantangan utama dalam pengembangan AI adalah pengambilan keputusan yang adil dan tidak diskriminatif. Data yang digunakan oleh AI dalam mengambil keputusan dapat mengandung bias, sehingga penting untuk memastikan data yang digunakan tidak bersifat diskriminatif.


Bahaya AI

Salah satu bahaya yang paling sering disoroti adalah kekhawatiran tentang AI yang dapat mengambil alih pekerjaan manusia. Dengan semakin banyaknya pekerjaan yang dilakukan oleh mesin maka akan semakin banyak pula manusia yang kehilangan pekerjaannya.

Selain itu, adanya kekhawatiran tentang kemampuan AI yang dapat mengambil keputusan tanpa pengawasan manusia dan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan membahayakan keamanan dan keselamatan manusia.

Kemudian, ada juga masalah etis yang muncul akibat penggunaan teknologi AI, seperti penyalahgunaan data pribadi, diskriminasi, dan kehilangan privasi. Karena AI mampu mengumpulkan data dalam jumlah yang sangat besar, maka harus ada peraturan dan aturan yang ketat untuk melindungi privasi pengguna.


Manfaat AI

Tidak dapat dimungkiri bahwa teknologi AI juga memberikan banyak manfaat bagi manusia. Salah satu contohnya adalah kemampuan AI mendukung proses diagnosis dan penanganan penyakit. AI juga dapat membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam berbagai sektor, seperti manufaktur, perbankan, dan industri lainnya. Selain itu, AI dapat digunakan untuk meningkatkan keamanan dan pengawasan di berbagai bidang, seperti pemantauan lalu lintas dan keamanan di bandara.

Selain manfaat yang sudah disebutkan, ada juga manfaat AI dalam bidang pendidikan. Teknologi AI dapat membantu meningkatkan proses belajar mengajar dengan cara yang lebih efektif dan personal. Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah kompleks dan meningkatkan efisiensi di berbagai bidang.

Dalam pengembangan dan penggunaan AI, perlu dipastikan bahwa pengambilan keputusan oleh AI adil dan tidak diskriminatif. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan data yang digunakan tidak mengandung bias dan dilakukan pengujian yang sesuai sebelum penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga perlu dipastikan bahwa keputusan yang diambil oleh AI dapat dipertanggungjawabkan dan dipahami oleh manusia.

Idealnya, teknologi AI dapat disesuaikan dengan kondisi sosioekonomi, suasana hati (mood), hati nurani (aspek religi atau metafisik), konteks norma, budaya, tradisi, atau adat setempat (local wisdom) penggunanya.


Metaverse

Terminologi metaverse terdeteksi pertama kali di novel fiksi ilmiah “Snow Crash” tahun 1992. Menurut Oxford English Dictionary, yang pertama kali mencantumkan istilah ini pada tahun 2008, metaverse adalah dunia virtual; lingkungan yang dibuat oleh komputer di mana pengguna dapat berinteraksi satu sama lain dan sekitarnya.

Menurut Thomason J (2021), metaverse adalah kombinasi dari DeFi, NFT, tata kelola, dan layanan cloud yang terdesentralisasi, disertai identitas berdaulat yang memungkinkan pertukaran aset fisik, ekonomi, dan konten.

Meskipun definisi tersebut mudah dipahami, belumlah mencerminkan kekayaan konsep yang terus berkembang ini. Metaverse sering disalahartikan sekadar perpanjangan dari game komputer dan media sosial, atau terkadang dianggap sebagai rebranding yang terlalu berlebihan dari virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).

Untuk merealisasikan manfaat yang dijanjikan secara luas, metaverse perlu mengintegrasikan kemampuan penuh teknologi pendukung, berupa: internet berkecepatan tinggi yang melibatkan 5G/6G, VR, AR, realitas campuran (MR), realitas yang diperluas (XR), kembaran digital, haptics, holografi, komputasi aman, dan kecerdasan buatan dalam skala sosial dan ekonomi yang masif, yang memungkinkan orang untuk berinteraksi di antara mereka sendiri dan dengan avatar, agen, dan algoritma AI, serta perangkat dan fasilitas medis (Wang G, dkk, 2022).

Metaverse dapat memberikan pengalaman yang luar biasa bagi penggunanya, namun harus tetap mempertimbangkan aspek etika digital 5.0. Dalam pengembangan metaverse, harus memperhatikan aspek keamanan dan privasi pengguna. Selain itu, penggunaan teknologi VR juga perlu mempertimbangkan aspek medis, ergonomis, dan psikologis manusia.


Chat GPT

Chat GPT dapat membantu manusia dalam pembuatan konten digital, namun harus tetap memperhatikan aspek etika digital 5.0. Aplikasi ini harus memastikan teks yang dihasilkan tidak menimbulkan masalah etika, seperti menyebarkan informasi palsu atau merugikan pihak lain.

Dalam hal penggunaan aplikasi Chat GPT, harus dipastikan bahwa teks atau luaran yang dihasilkan tidak menimbulkan masalah etika, seperti menyebarkan informasi palsu atau merugikan pihak lain. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan sumber data yang digunakan oleh aplikasi ini dapat dipercaya, serta melalui pengawasan dan regulasi yang ketat.


Etika Digital 5.0

Etika digital atau etika informasi dalam arti yang lebih luas berkaitan dengan dampak teknologi informasi dan komunikasi (TIK) digital terhadap masyarakat dan lingkungan kita secara luas (Rafael Capurro, 2009).

Dalam perkembangan teknologi AI dan metaverse, penting untuk mempertimbangkan aspek etika Digital 5.0. Hal ini memastikan bahwa pengguna teknologi dapat terlindungi dan merasa nyaman dalam menggunakan teknologi tersebut.

Aspek etika Digital 5.0 meliputi keamanan, privasi, transparansi, dan nilai-nilai etis dalam penggunaan teknologi di ruang digital atau virtual. Tentunya juga tetap memerhatikan pondasi dasar etika, seperti: otonomi, kebermanfaatan (beneficence), keadilan, and non-maleficence (tidak membahayakan).

Etika Digital 5.0 sangat penting dalam pengembangan dan penggunaan teknologi AI dan metaverse. Dengan memperhatikan aspek etika Digital 5.0, pengguna teknologi dapat merasa lebih nyaman dan terlindungi dalam menggunakan teknologi tersebut.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab dalam mempertimbangkan aspek Etika Digital 5.0 demi terciptanya keberlangsungan teknologi yang berkelanjutan dan membawa manfaat bagi manusia.

Tantangan terbesar etika Digital 5.0 antara lain: digital demokrasi, digital transformasi, decentralized autonomous (organisasi yang dijalankan berbasis program komputer), kebebasan digital, transhumanisme, psycho-engineering, technosolutionism, devaluasi privasi, penyalahgunaan biometrik, defek edukasi dan regulasi, resistensi geospasial, ketimpangan akses, teknologi blockchain, ekonomi digital, perbankan digital, dan berbagai bentuk aspek kehidupan digital atau virtual lainnya. Tentunya, semua kembali ke manusia sebagai pencipta sekaligus pengendali teknologi digital.

*Dokter Dito Anurogo, M.Sc, kandidat doktor dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, Wakil Ketua Komisi Kesehatan Ditlitka PPI Dunia



EditoR: Achmad Zaenal M