"Ide adanya ras bukan natural, bukan kita yang membuat. Begitu pula etnis, bukan bangsa kita masing-masing yg menciptakan, itu semua dari Barat," kata Jirayudh setelah diterjemahkan pada acara kuliah umum tentang Ras, Etnis, dan Kolonialisme yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Jirayudh mengungkapkan seperti halnya Padang dan Aceh, pada era kolonialisme pola pikir rasisme sengaja dibentuk untuk mengakui etnis masing-masing sebagai etnis Aceh dan etnis Padang, bukan satu kesatuan sebagai etnis Indonesia atau etnis Sumatera.
Proses terbentuknya ras terjadi ketika para penjajah ingin mendominasi di sebuah tempat yang baru didatangi. Perlakuan rasial dilakukan untuk mempermudah dalam membeda-bedakan kelompok lain dan menunjukkan superioritas kelompok penjajah.
"Masyarakat dikategorikan ke dalam beberapa golongan ras untuk tujuan politik dan ekonomi," kata Director of South Asian Center, Institute of Asian Studies Chulalongkorn University, Thailand, tersebut.
Baca juga: Sejarawan: perlu pengenalan tokoh bangsa yang terlupakan
Jirayudh menjelaskan perbudakan di Afrika terjadi karena merosotnya ekonomi Eropa sehingga beberapa warganya harus mencari tempat untuk mencari kehidupan baru
Afrika menjadi salah satu tujuannya. Namun, menurut dia, karena cuaca ekstrim, terkesan hampa, dan terpencil, yang akhirnya para penjelajah dari Eropa berputus asa.
"Di saat yang sama, mereka melihat warga asli Afrika tetap kuat untuk hidup, berburu, dan bekerja. Maka mereka mulai menanamkan pemahaman ras sebagai upaya mempekerjakan warga asli Afrika. Inilah cikal bakal kolonialisme," kata Jirayudh.
Jirayudh juga menjelaskan Bangsa Eropa juga menggunakan cara yang sama dengan agama karena mampu memisahkan satu golongan dengan budaya dan bahasa yang sama. Seperti halnya sebagian Provinsi Bengal, India, dan Bangladesh, yang memiliki budaya yang sama tapi harus dipisahkan karena perbedaan agama.
Baca juga: Mendalami kehidupan para pendiri bangsa melalui suratnya