2012 terjadi 13 kekerasan terhadap jurnalis
31 Desember 2012 14:38 WIB
Sejumlah wartawan dari berbagai organisasi wartawan berdemonsrasi menentang aksi kekerasan terhadap jurnalis di Bundaran Hasanuddin Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (17/10). (FOTO ANTARA/Basri Marzuki)
Bandarlampung, Lampung (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung mencatat kekerasan terhadap jurnalis di Provinsi Lampung sepanjang 2012 tercatat tinggi, yakni 13 kasus dan meningkat tajam dari 2011 yang tercatat enam kasus.
"Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya kekerasan terhadap jurnalis. Salah satu penyebabnya ialah jurnalis tidak mematuhi kode etik dalam peliputan dan pemberitaan," kata Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, di Bandarlampung, Senin.
Ia menyebutkan kekerasan terhadap jurnalis di Lampung pada 2013, tentu masih ada, karena itu para jurnalis agar lebih mematuhi kode etik jurnalistik dalam melakukan peliputan.
Perihal kesejahteraan jurnalis, Wakos mengatakan pada tahun mendatang kemungkinan belum ada perubahan signifikan.
Saat ini, kata dia lagi, masih banyak media massa di daerah itu yang menggaji jurnalisnya di bawah upah minimum kabupaten/kota/provinsi.
"Banyaknya jumlah media massa di Lampung tidak diimbangi dengan upah yang layak sehingga tumbuh jurnalis-jurnalis yang melanggar kode etik. Karena gaji kurang untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya membuat jurnalis menerima amplop," ujar dia lagi.
Padahal lanjutnya, kebiasaan menerima dan memberi amlop tersebut melanggar kode etik.
"Sebaiknya jika secara bisnis belum mapan, jangan coba-coba mendirikan media massa," kata Wakos menyarankan. (*)
"Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya kekerasan terhadap jurnalis. Salah satu penyebabnya ialah jurnalis tidak mematuhi kode etik dalam peliputan dan pemberitaan," kata Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, di Bandarlampung, Senin.
Ia menyebutkan kekerasan terhadap jurnalis di Lampung pada 2013, tentu masih ada, karena itu para jurnalis agar lebih mematuhi kode etik jurnalistik dalam melakukan peliputan.
Perihal kesejahteraan jurnalis, Wakos mengatakan pada tahun mendatang kemungkinan belum ada perubahan signifikan.
Saat ini, kata dia lagi, masih banyak media massa di daerah itu yang menggaji jurnalisnya di bawah upah minimum kabupaten/kota/provinsi.
"Banyaknya jumlah media massa di Lampung tidak diimbangi dengan upah yang layak sehingga tumbuh jurnalis-jurnalis yang melanggar kode etik. Karena gaji kurang untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya membuat jurnalis menerima amplop," ujar dia lagi.
Padahal lanjutnya, kebiasaan menerima dan memberi amlop tersebut melanggar kode etik.
"Sebaiknya jika secara bisnis belum mapan, jangan coba-coba mendirikan media massa," kata Wakos menyarankan. (*)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012
Tags: