Jakarta (ANTARA News) - Pada konferensi pers akhir tahun 2012 di Jakarta, Kamis (27/12), Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengklaim, KPK telah mencapai "the most outstanding performance" dalam pemberantasan korupsi.

"Pada tahun ini KPK menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dimulai dari kasus Wa Ode Nurhayati. Kasus Nazaruddin juga sudah dibuat TPPU-nya dan akan dibentuk `asset raising unit` untuk menelusuri harta Nazar," kata Bambang.

Wa Ode, mantan anggota Badan Anggaran DPR asal Partai Amanat Nasional divonis hukuman pidana penjara 6 tahun dengan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima hadiah uang Rp6,25 miliar.

Uang itu dari Haris Andi Surahman yang berasal dari Fadh El Fouz, pengusaha sekaligus Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), organisasi yang berinduk pada Partai Golongan Karya, sebagai `fee` untuk memproses Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) di kabupaten Bener Meriah, Aceh Besar dan Pidie Jaya.

Hakim juga menilai dari sisi pencucian uang, bahwa rekening tabungan bisnis di Mandiri cabang DPR atas nama Wa Ode dengan nilai transaksi hingga total Rp50,59 miliar merupakan hasil korupsi.

"Terdakwa juga tidak pernah melaporkan sebagai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara terkait rekening Bank Mandiri tersebut hingga berjumlah Rp50,59 miliar, karena bertujuan untuk menyamarkan asal-usul uang tersebut," jelas ketua majelis hakim Suhartoyo.

Sedangkan Fadh El Fouz divonis pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan dengan denda Rp50 juta subsider kurungan 2 bulan karena terbukti menyuap Wa Ode Nurhayati untuk mengurus alokasi DPID tahun anggaran 2011.

Terlambat
Menanggapi hal itu, pakar hukum pencucian uang, Dr Yenti Garnasih mengatakan, penerapan pasal pencucian uang terhadap koruptor tersebut adalah tindakan yang terlambat dari KPK.

"Saya tidak mengerti mengapa KPK tidak mau menggunakan UU pencucian uang kepada kasus korupsi sejak penyidikan padahal dari sisi strategi UU TPPU malah mempercepat penanganan perkara," kata Yenti.

Ia beralasan bahwa manfaat penggunaan UU tersebut adalah bukan hanya menjerat pelaku korupsi yang mendapatkan uang berasal dari hasil kejahatan, tapi juga orang yang menikmati uang hasil korupsi tersebut dianggap penjahat.

"Jadi slogannya bukan hanya antikorupsi tapi juga anti menikmati hasil korupsi, harapannya dapat mencegah korupsi, tapi KPK selalu terlambat dan masih ada tebang pilih dalam penerapan UU pencucian uang," ungkap Yenti.

Padahal pihak kepolisian dan kejaksaan menurut Yenti sudah menerapkan UU pencucian uang sejak 4-5 tahun yang lalu.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas beralasan bahwa penerapan pasal pencucian uang haruslah cerdas.

"UU adalah norma yang pasif, bisa menjadi aktif kalau dijalankan atas suatu kasus jika untuk kasus itu ada fakta yang didukung bukti, tapi kalau tidak ada fakta yang didukung bukti, semangat untuk terapkan TPPU tidak cerdas, hakim akan menolak," kata Busyro.

Ia kemudian kembali mengungkapkan prestasi lain KPK, yakni melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di luar pulau Jawa.

"Tangkap tangan juga bukan hanya di pulau Jawa tapi masuk ke Riau dan Buol Sulawesi Tengah, hal ini mengindikasikan bahwa kepada para koruptor, kami bisa mendekati Anda kendati Anda berada di ujung negeri, jangan main-main dengan pemberantasan korupsi," ungkap Bambang.

Kasus tersebut dimulai ketika KPK melakukan OTT di Bandara Mutiara, Palu pada Selasa (26/6) terhadap anak buah pengusaha Hartati Murdaya yaitu Yani Anshori dan dilanjutkan dengan penangkapan anak buahnya yang lain Gondo Sudjono di Bandar Udara Soekarno Hatta Cengkareng pada Rabu (27/6).

Keduanya ditangkap karena memberikan uang dengan total Rp3 miliar kepada penyelenggara negara, bupati Buol saat itu Amran Batalipu demi mendapatkan surat Hak Guna Usaha untuk tanah seluas 4.500 hektare.

KPK juga menangkap 7 anggota DPRD Riau, 4 orang pihak swasta, dan 2 pejabat Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau saat melakukan transaksi suap-menyuap pada April terkait pembahasan sejumlah proyek pada pelaksanaan PON 2012 di Riau.

Sedangkan di pulau Jawa, pada hari peringatan Kemerdekaan RI, KPK juga menangkap dua hakim ad hoc pengadilan Tipikor Kartini Marpaung dan Heru Kisbandono dan satu orang penghubungnya yaitu Sri Dartuti terkait kasus tindak pidana korupsi Anggaran Pemeliharan Mobil Dinas Sekretariat DPRD Kabupaten Grobogan 2006-2008 dengan terdakwa Ketua DPRD Grobogan M. Yaeni.

Prestasi KPK lain menurut Bambang adalah KPK "berhasil" menahan menteri aktif dan jenderal bintang dua.

"Pada periode ini kami ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa bukan hanya pensiunan yang menjadi target KPK, bukan hanya mantan tapi juga siapa pun yang diduga menjadi pelaku korupsi akan menjadi target KPK," jelas Bambang.

Artinya menurut mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum tersebut KPK tidak memandang bulu dalam menetapkan tersangka.

"Ada menteri aktif yang menjadi tersangka dan polisi bintang dua yang jadi tersangka dan mungkin ada banyak lain yang bisa jadi tersangka," jelas Bambang.

Mantan Menteri Andi Mallarangeng ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan barang dan jasa pembangunan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang Jawa Barat.

Sedangkan jenderal aktif yang dimaksud oleh Bambang adalah Irjen Pol Djoko Susilo yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan roda empat di Korps Lalu Lintas (Korlantas) tahun anggaran 2011 dengan perkiraan nilai kerugian negara hingga Rp100 miliar dari pagu anggaran Rp196,8 miliar.

Djoko Susilo bahkan telah ditahan di rumah tahanan KPK di Detasemen Polisi Militer (Denpom) Guntur Kodam Jaya sejak Senin (2/12).

Tindakan lain
Masih ada sejumlah tindakan lain KPK pada 2012 yang dapat dicatat sebagai suatu terobosan, misalnya adalah penerapan baju tahanan KPK.

"Pengenaan baju tahanan ini adalah untuk menciptakan efek jera kepada koruptor karena selama ini perlakukan KPK sangat ringan kepada para tahanan, mereka bahkan masih bisa `cengengesan` di hadapan publik bahkan saat persidangan mereka dapat mengenakan pakaian mewah," kata Bambang.

Baju tahanan itu adalah berbentuk jaket warna putih yang juga bertuliskan "Tahanan KPK" warna hitam di bagian belakang, tujuannya tentu untuk membuat jera koruptor.

Meskipun, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom mengubah tampilan baju tahanan itu sehingga ia terlihat modis.

Miranda menggunakan ikat pinggang besar warna hitam yang melingkar di pinggang rampingnya saat datang ke pengadilan tipikor, baju tahanan itu jadi terlihat seperti blazer saat dikenakan Miranda, kontras dengan rambutnya yang dicat warna ungu.

Penggunaan rumah tahanan (rutan) Detasemen Polisi Militer (Denpom) Guntur Kodam Jaya di jalan Guntur, Manggarai Jakarta Selatan sebagai rutan KPK, juga menjadi terobosan KPK lain.

Rutan yang dibangun pada 1937 tersebut pada zaman orde Baru biasa dipakai untuk menahan para tahanan politik pada masa Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

KPK dipinjami bangunan dan tanah di bagian belakang Denpom Guntur untuk direhabilitasi.

Bangunan yang akan dibangun adalah blok untuk 22 tahanan laki-laki dan 10 tahanan perempuan di tanah seluas 365 meter persegi, masing-masing tahanan laki-laki akan ditahan dalam ruangan berjumlah 5-7 orang sedangkan satu tahanan perempuan menempati satu kamar tahanan.

Sedangkan ruangan yang sudah siap digunakan saat ini adalah 3 ruangan sel yang dilengkapi dengan dua tempat tidur dan satu kakus di dalam ruangan berukuran 5,2 meter persegi.

Sehingga total rutan tersebut mampu menampung 38 orang tahanan KPK dalam 14 ruangan sel dengan berbagai ukuran.

"Anggaran pembangunan rutan awalnya adalah Rp1,5 miliar namun jumlah tersebut naik hingga Rp2,5 miliar karena harus melengkapi jeruji sesuai standar dan peralatan lainnya," ungkap Bambang.

Pertanyaannya, apakah dengan sejumlah usaha dan anggaran yang telah ditetapkan tersebut KPK dapat efektif menjerakan para pelaku korupsi dan mencegah tindakan korupsi lainnya?

"Pemberantasan korupsi harus dapat menghasilkan efek jera (detterent effect), caranya tidak cukup hanya hukuman badan tapi kami kembangkan biaya sosial korupsi sehingga koruptor menanggung biaya sosial yang dihasilkan dari perbuatannya," kata Bambang Widjojanto.

(D017/D009)