Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan langkah-langkah untuk mengantisipasi kendala pasokan bahan baku untuk industri pulp dan kertas di dalam negeri yang saat ini dipasok oleh Uni Eropa (UE).

“Salah satu kebutuhan bahan baku itu adalah kertas bekas atau daur ulang. Adapun Uni Eropa merupakan pemasok utama bahan baku tersebut, yang hingga saat ini masih belum bisa dipenuhi dari dalam negeri, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Uni Eropa mengeluarkan kebijakan mengenai pembatasan atau larangan ekspor limbah non-B3 termasuk kertas bekas sesuai dengan Proposal European Union Waste Shipment Regulation (EUWSR).

Guna mengatasi hal tersebut, delegasi Indonesia telah melakukan pertemuan dan diskusi dengan likeminded countries, Komisi Uni Eropa dan Parlemen UE. Adapun delegasi Indonesia terdiri dari perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, KBRI Brussels dan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI).

Pertemuan dengan likeminded countries dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran negara pengimpor limbah dari UE di antaranya Turki, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Mesir untuk menyusun strategi dalam mengurangi dampak penerapan regulasi tersebut.

Putu menyebut mayoritas likeminded countries belum mengetahui perkembangan terkini terkait proposal EUWSR, kecuali Turki yang sudah menyampaikan tanggapan resmi pada notifikasi EUWSR melalui WTO.

“Pemerintah RI akan menyusun position paper untuk kemudian dibahas bersama dengan likeminded countries dan disampaikan kepada UE,” ungkapnya.

UE menyampaikan regulasi EUSWR bertujuan untuk memastikan bahwa limbah yang diekspor dari Uni Eropa ke negara lain dikelola dengan baik, termasuk pengolahan impuritas dari limbah (misalnya plastik yang ada di limbah kertas), dan tidak bermaksud untuk menghambat perdagangan.

Namun, menurut Putu, Indonesia menekankan limbah non-B3 seperti kertas bekas hanya dapat diimpor sebagai bahan baku industri dan berkontribusi penting bagi perekonomian Indonesia khususnya untuk peningkatan implementasi ekonomi sirkular.

“Kemudian dijelaskan regulasi prosedur impor limbah non-B3 yang sudah sangat kompleks dan ketat sehingga Indonesia eligible masuk dalam The List,” ujarnya.

Saat ini, Delegasi Indonesia juga meminta klarifikasi atas beberapa ketentuan pada proposal EUWSR. Pihak UE juga terbuka untuk berkomunikasi lebih lanjut terutama mengenai penerapan EUWSR, misalnya terkait mekanisme untuk masuk ke dalam The List.

Lebih lanjut, Putu menjelaskan Delegasi Indonesia juga melakukan pertemuan dengan European Union Recycle Industry Confederation (EURIC), di mana mereka siap mendukung agar Indonesia tetap dapat mengimpor kertas bekas sebagai bahan baku industri.

“Mayoritas anggota UE mendukung EUWSR berdasarkan dua pertimbangan, yakni melindungi industri daur ulang di Eropa, dan industri UE belum mampu menyerap kertas bekas dikhawatirkan akan berdampak pada lingkungan di Eropa,” jelas Putu.

Oleh karenanya, Indonesia meminta agar EURIC dapat mengkonsolidasikan industri daur ulang di Eropa untuk berkoordinasi dengan Pemerintah negara anggota Uni Eropa untuk menyampaikan pendapat melalui Dewan Uni Eropa, di antaranya agar dapat mengecualikan kertas bekas dari kategori limbah seperti yang dinyatakan oleh Prancis, Italia dan Spanyol.

“Kami juga melakukan kunjungan ke Peute Recycling di Dordrecht, Belanda. Delegasi berkesempatan untuk melihat proses koleksi kertas bekas terutama untuk pemilahan kertas bekas untuk memastikan impuritas sesuai dengan standar internasional. Standar impuritas maksimal Indonesia cukup ketat yaitu sebesar 2 persen sesuai standar ISRI. Lebih ketat dibandingkan standar yang digunakan di negara importir lainnya,” jelasnya.

Menurut Putu, sebagai tindak lanjut dari rangkaian pertemuan dan kunjungan kerja tersebut, Indonesia akan mengadakan pertemuan via online dengan likeminded countries untuk menyampaikan hasil pertemuan dengan Komisi UE dan Parlemen UE dalam kesempatan pertama.

“Indonesia juga akan berkomunikasi lebih lanjut dengan pihak Komisi UE untuk memastikan mekanisme pengusulan negara masuk dalam The List di mana Indonesia harus memetakan jenis limbah non-B3 yang akan terdampak proposal regulasi EUWSR, seperti kertas bekas, scrap logam, tekstil, dan lain-lain,” imbuhnya.

Bahkan, Indonesia juga menilai perlu mendorong pembahasan EUWSR dalam pertemuan bilateral seperti Indonesia EU-CEPA atau regional seperti ASEAN Uni Eropa.

Selain itu, Delegasi Indonesia juga mendorong EURIC untuk berkoordinasi dengan anggota konfederasi di negara anggota UE agar dapat menyampaikan pertimbangan kepada pemerintah negara anggota UE untuk dapat mengecualikan kertas bekas dalam kategori limbah non-B3 karena merupakan komoditi yang digunakan sebagai bahan baku industri.

Baca juga: APKI: Industri pulp dan kertas perlu terapkan kegiatan berkelanjutan
Baca juga: Industri pulp dan kertas usung kesiapan transformasi teknologi di Hannover
Baca juga: Kemenperin sebut industri pulp dan kertas kian menggeliat