Denpasar (ANTARA) - Di balik penampilannya yang eksentrik, sosok Putu Sudi Adnyani memiliki pemikiran yang sederhana dalam menciptakan sebuah karya seni.

Menurut pemilik usaha kerajinan perak Bara Silver, di Desa Celuk, Gianyar, Bali, berkarya merupakan bagian penyegaran diri dan juga yadnya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna karya dilakukan dengan tulus.

Kreativitas dan keisengannya dalam mendesain kerajinan tersebut muncul tatkala perempuan yang kerap disapa Mami Bara itu sedang menyendiri.

Goresan desain itu pun menghasilkan karya yang unik, bahkan terkesan "heboh" sehingga berbeda dari perajin perak pada umumnya.

Dikatakan unik dan heboh karena ia menyajikan ragam bentuk dan ukuran yang besar, salah satunya subeng atau anting-anting khas Bali berbentuk kipas sebesar kuping orang dewasa.

Ada lagi kalung dan bros dengan desain klasik dan gelang pendok yang bentuknya seperti pegangan keris.

Kreasi tersebut dipadupadankan dengan motif alam mulai dari tumbuhan, akar, daun-daunan, fauna, hingga ornamen alam khas Bali yang menjadi inspirasi utama kerajinannya.

“Saya tidak mengejar sesuatu mati-matian, yang penting berkarya. Saya anggap semacam refreshing,” katanya sambil tersenyum lebar.

Justru kreasi tersebut mendapat perhatian masyarakat termasuk menjuarai beberapa kali lomba karya seni yang diadakan Pemerintah Provinsi Bali salah satunya dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB).


Salah satu kerajinan perak dan ukiran khas Bali di Bara Silver, Desa Celuk, Kabupaten Gianyar, Bali, Kamis (20/4/2023) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna


Merintis dari nol

Bermodalkan pinjaman dari salah satu bank BUMN sebesar Rp20 juta pada 2003, Mami Bara memberanikan diri merintis kerajinan perak di Desa Celuk yang dikenal sebagai sentra kerajinan perak di Bali.

Satu per satu produk ia buat sendiri tanpa dibantu karyawan, lalu hasilnya ditempatkan dalam satu rak sebagai pajangan di kediamannya yang berlokasi di Jalan Setra, Desa Celuk, Gianyar.

Seiring dengan berjalannya waktu, ia juga banyak dibantu pemandu wisata yang membawa wisatawan untuk mengenal kerajinan perak.

Tak hanya itu, Bara kerap mengikuti lomba desain kerajinan yang diadakan pemerintah daerah di Bali hingga masuk podium.

Perempuan kelahiran Kayu Putih, Buleleng, Bali, 15 Juni 1971 itu pun dilirik Pemprov Bali untuk mendapat pembinaan dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil.

Tak hanya itu, usaha kerajinannya juga menjadi binaan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Bali sehingga skala bisnisnya pun naik kelas dan dikenal masyarakat luas.

Kehadiran Pemerintah betul-betul dirasakan oleh Bara sekaligus dihargai dalam proses menciptakan karya seni.

“Makanya semangat terus berkarya. Saya merasa didukung dan dihargai sebagai UMKM,” ucap Bara yang lebih senang disebut perajin perak dibandingkan pelaku usaha.

Kegigihan dan terus berkreativitas membuat dirinya percaya diri untuk mengembangkan kerajinan perak dan emas.

Halaman belakang rumahnya yang dulu semak-semak dan kandang babi, disulap menjadi galeri seni yang kini menghasilkan ribuan kerajinan dipajang dalam rak yang kini tak hanya satu, melainkan banyak rak baik vertikal dan horisontal.

Di dekat galeri itu juga sekaligus sebagai area belajar membuat perak yang ditujukan bagi wisatawan domestik dan mancanegara.

Karyanya diminati tak hanya di Tanah Air, namun beberapa di antaranya merambah konsumen di luar negeri, salah satunya Amerika Serikat.

Kini, ibu tiga anak itu mempekerjakan lima pegawai dan sekitar 70 orang, sebagian besar ibu-ibu di sejumlah kabupaten di Bali, yang ikut membantu mengerjakan kerajinan perak.

Tak hanya berbahan perak, ada juga kerajinan berbahan emas 22 karat dan juga bahan lain misalnya tembaga dan alpaka dengan variasi harga kerajinan Rp100 ribu hingga di atas Rp100 juta.

Bagi penikmat seni, berapa pun harganya, nilai bukanlah menjadi soal namun menghargai sebuah karya seni.


Tangkapan layar - Buah tangan berupa keris mungil dari perak karya Bara Silver untuk buah tangan pada KTT G20 di Desa Celuk, Kabupaten Gianyar Bali, Rabu (25/5/2022) ANTARA/TikTok/Bara Silver Bali
Bertahan dari pandemi

Pandemi COVID-19 menjadi titik klimaks Putu Sudi Adnyani yang selama hampir dua tahun memberi dampak luar biasa terhadap sendi kehidupan masyarakat.

Namun, yang namanya pelaku seni, ia tak kehabisan akal, Mami Bara tetap menciptakan dan menggali ide-ide baru membuat kerajinan.

Bara tetap mendesain namun menyiasatinya dengan melakukan diversifikasi produk menggunakan logam selain perak dan emas yang lebih terjangkau di antaranya tembaga dan alpaka.

Terbaru, ia membuat kerajinan perak dengan motif Bali yang mendekorasi tas wanita berbahan rotan ate.

Tas jinjing yang terlihat biasa, menjadi elegan dan terkesan mahal dipadukan dengan ukiran perak.

Produk kerajinannya pun digemari konsumen berbagai latar belakang mulai dari konsumen umumnya, artis hingga pejabat negara dan lingkaran Istana Kepresidenan RI, salah satunya Ibu Negara Iriana Joko Widodo.

Karya aksesorinya pun kerap wara-wiri digunakan para perancang busana dalam pameran dan peragaan busana.

Bahkan, kerajinan Bara juga menjadi salah satu buah tangan berupa keris mungil bagi delegasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali, November 2022.

Di sisi lain, akses digitalisasi yang makin luas juga dimanfaatkan, guna mendukung keberlanjutan.

Pemikiran yang sederhana dan konsistensi dalam ide dan kreativitas Bara mengingatkan akan sosok Raden Ajeng Kartini yang menjadi pelopor kebangkitan emansipasi wanita era kolonial.

Meski berbeda cara dan generasi, setidaknya memotivasi karya perempuan masa kini untuk lebih berani dan tampil lebih percaya diri dengan karya-karya orisinal.