Imigran India: menganggur atau jatuh dalam bahaya di perkotaan
18 April 2023 22:16 WIB
Arsip - Pekerja dari perusahaan transportasi melakukan bongkar muat barang sebuah truk di pasar serba ada di Mumbai, Senin (13/5). Perdagangan India medio April mengalami defisit hingga USD 17.8 milyar, menurut keterangan kementrian perdagangan, akibat gelombang besar impor akan emas murah yang meningkatkan kewaspadaan akan defisit transaksi berjalan di negara ekonomi terbesar ketiga di Asia. (REUTERS/Danish Siddiqui)
New Delhi, India (ANTARA) - Saat Sujeet Kumar berjalan melewati rumah-rumah dan hamparan padi di desanya untuk mengejar kereta ke Mumbai, dia menceritakan bayangannya soal kehidupan yang yang baik di kota India yang penuh akan mimpi itu.
Pemuda 21 tahun dari distrik Jaunpur, negara bagian Uttar Pradesh itu, pergi menuju kota pusat ekonomi itu karena 'terpaksa', sama seperti jutaan orang lainnya.
"Mumbai itu kotanya orang kaya. Siapapun yang ke Mumbai, peruntungannya berubah," kata Kumar. "Saya berharap keberuntungan berpihak pada saya di sana juga, dan saya bisa berkembang."
Migrasi internal ini akan semakin lebih sering, seiring kepadatan India yang semakin bertambah yang akan membawa negara itu sebagai negara dengan kepadatan penduduk terbesar. Hal itu menyebabkan pemerintah harus menghadapi berbagai tantangan, seperti lambatnya perkembangan infrastruktur perkotaan, serta memberikan lapangan pekerjaan, termasuk bagi penduduk muda yang tidak punya pendidikan.
Menurut data tahun 2011, data terakhir yang tersedia, jumlah penduduk India saat itu 1.21 milyar, termasuk 456 juga migran internal.
PBB memproyeksikan bahwa populasi India mencapai lebih dari 1.42 milyar pada minggu lalu, sebuah angka yang melebihi China.
Dua pertiga populasi India adalah orang-orang berusia 35 tahun. Banyak dari mereka yang tinggal di pinggiran kota hijrah ke perkotaan untuk bekerja sebagai apapun —buruh, sopir, staf di toko, perumahan. Banyak dari mereka berasal dari Uttar Pradesh atau Bihar, negara bagian lain yang populasinya meningkat lebih cepat dibandingkan tempat manapun di negara itu.
"Para migran selalu terpusat pada pekerjaan yang lebih berbahaya. Pekerjaan yang lebih baik tidak tersedia bagi migran-migran ini, dan kekuatan politik mereka sangat kecil untuk menegosiasikan upah," kata pakar migrasi di Pusat Penelitian Kebijakan New Delhi, Mukta Naik.
"Tidak cukup banyak pekerjaan-pekerjaan di luar sana, dan pekerjaan-pekerjaan itu tidak terlalu bagus untuk menarik orang-orang dalam jangka panjang, tidak cukup upah untuk investasi rumah, untuk memberangkatkan anak-anak mereka ke perkotaan untuk belajar."
Selain kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta upah yang kecil, para pendatang juga dihadapkan pada masalah biaya hidup serta pencarian tempat hunian. Mereka tidak punya akses ke jaminan sosial, serta rentan terlibat dalam aksi kriminal yang kerap terjadi di gang-gang kumuh perkotaan.
Abdul Nur (37), satpam di Bengaluru, mengatakan bahwa dia meninggalkan kampung halamannya, Assam, ketika masih berusia 17 tahun. Sejak saat itu, dia hidup dan tinggal berbagai tempat di Chennai, Hyderabad, dan Mumbai.
"Waktu saya di Mumbai, terlalu banyak ketegangan. Panas, dan banyak kriminalitas," ujarnya.
Satu dekade yang lalu, dia tinggal di kota pusat ekonomi India itu. Menurutnya, sangat sulit hidup hanya bermodalkan 14,000 rupee (Rp 2.539.047) sebulan, karena harga sewa dan makanan yang tinggi.
Bahkan Bengaluru, kota pusat teknologinya India, yang kian dipadati migran, menjadi sangat mahal pula, kata Nur.
"Saya memulangkan kembali istri dan anak saya ke kampung," katanya. "Dengan gaji saya, sangat sulit mengedukasi dia di sini. Saya akan tinggal sendiri sekarang."
Tidak sedikit para migran menjadi sangat kecewa, sampai-sampai mereka kembali ke kampung halamannya.
Bhikhari Manhi (30) meninggalkan kampungnya di negara bagian Odisha dan bekerja di Bengaluru. Di sana, dia dijanjikan pekerjaan sebagai buruh konstruksi dengan gaji 10,000 rupee per bulan (Rp 1.813.605). Kontraktornya hanya membayarnya 100 rupee (Rp 18.136) tiap minggunya selama dua bulan. Meski berjanji akan membayar sisanya, namun bayaran itu tak kunjung datang.
"Ketika kami meminta uang kami, kami dihajar," katanya.
Awal bulan ini, Manjhi dan dua warga dari kampung halamannya berjalan sejauh kurang lebih 1,000km selama lebih dari tujuh hari, untuk pulang.
"Kita tinggal di area hutan, dan mendapat 15,000 rupee (Rp 2.720.407) per tahun," ujarnya tentang kondisinya saat ini.
Di kota-kota seperti Bengaluru, seseorang bisa menghasilkan lebih dari jumlah itu dalam sebulan. Tetapi Manjhi mengatakan bahwa dia tidak mau kembali ke sana lagi.
Berdasarkan data 2020 dari Organisasi Buruh Internasional, migran berkontribusi sebesar 10 persen dari total produk domestik bruto. Mereka adalah tulang punggung beberapa sektor. Uang yang mereka kirimkan ke kampung halamannya mengurangi tingkat kemiskinan keluarganya dan meningkatkan kesejahteraan mereka, kata laporan tersebut.
Para ahli mengatakan bahwa pemerintah perlu menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan itu merata di tiap sudut negara, terutama di bagian utara dan timur yang perkembangannya masih kurang.
"Desa-desa India (hanya) memberikan pekerjaan dalam bentuk pengangguran terselubung," kata kepala Pusat Pemantauan Ekonomi India, Mahesh Vyas.
Artinya, meskipun ada lebih banyak pekerjaan di bidang pertanian, hasil pertanian tidak bertambah sama sekali, katanya. Satu-satunya investasi di daerah pedalaman selain pertanian adalah proyek infrastruktur sementara, yang memberikan pekerjaan jangka pendek.
Perkotaan, meski memiliki banyak kekurangan, akan tetap menarik perhatian para migran, karena menjadi tempat terbaik yang bisa menawarkan pekerjaan, katanya lagi. Kumar dari Jaunpur setuju tentang hal itu.
Dengan potongan rambut baru dan kacamata hitam, Kumar merekam video dan mengambil foto selama kunjungannya ke tempat-tempat wisata di Mumbai untuk diunggah ke akun sosial medianya.
"Saya sangat senang tempat ini... Jauh lebih baik dibandingkan kampung saya," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pabrik iPhone di India tutup karena pekerja keracunan makanan
Baca juga: Tembok pabrik di India ambruk, tewaskan 12 pekerja
Baca juga: Banyak kawasan di Mumbai India mati listrik
Pemuda 21 tahun dari distrik Jaunpur, negara bagian Uttar Pradesh itu, pergi menuju kota pusat ekonomi itu karena 'terpaksa', sama seperti jutaan orang lainnya.
"Mumbai itu kotanya orang kaya. Siapapun yang ke Mumbai, peruntungannya berubah," kata Kumar. "Saya berharap keberuntungan berpihak pada saya di sana juga, dan saya bisa berkembang."
Migrasi internal ini akan semakin lebih sering, seiring kepadatan India yang semakin bertambah yang akan membawa negara itu sebagai negara dengan kepadatan penduduk terbesar. Hal itu menyebabkan pemerintah harus menghadapi berbagai tantangan, seperti lambatnya perkembangan infrastruktur perkotaan, serta memberikan lapangan pekerjaan, termasuk bagi penduduk muda yang tidak punya pendidikan.
Menurut data tahun 2011, data terakhir yang tersedia, jumlah penduduk India saat itu 1.21 milyar, termasuk 456 juga migran internal.
PBB memproyeksikan bahwa populasi India mencapai lebih dari 1.42 milyar pada minggu lalu, sebuah angka yang melebihi China.
Dua pertiga populasi India adalah orang-orang berusia 35 tahun. Banyak dari mereka yang tinggal di pinggiran kota hijrah ke perkotaan untuk bekerja sebagai apapun —buruh, sopir, staf di toko, perumahan. Banyak dari mereka berasal dari Uttar Pradesh atau Bihar, negara bagian lain yang populasinya meningkat lebih cepat dibandingkan tempat manapun di negara itu.
"Para migran selalu terpusat pada pekerjaan yang lebih berbahaya. Pekerjaan yang lebih baik tidak tersedia bagi migran-migran ini, dan kekuatan politik mereka sangat kecil untuk menegosiasikan upah," kata pakar migrasi di Pusat Penelitian Kebijakan New Delhi, Mukta Naik.
"Tidak cukup banyak pekerjaan-pekerjaan di luar sana, dan pekerjaan-pekerjaan itu tidak terlalu bagus untuk menarik orang-orang dalam jangka panjang, tidak cukup upah untuk investasi rumah, untuk memberangkatkan anak-anak mereka ke perkotaan untuk belajar."
Selain kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta upah yang kecil, para pendatang juga dihadapkan pada masalah biaya hidup serta pencarian tempat hunian. Mereka tidak punya akses ke jaminan sosial, serta rentan terlibat dalam aksi kriminal yang kerap terjadi di gang-gang kumuh perkotaan.
Abdul Nur (37), satpam di Bengaluru, mengatakan bahwa dia meninggalkan kampung halamannya, Assam, ketika masih berusia 17 tahun. Sejak saat itu, dia hidup dan tinggal berbagai tempat di Chennai, Hyderabad, dan Mumbai.
"Waktu saya di Mumbai, terlalu banyak ketegangan. Panas, dan banyak kriminalitas," ujarnya.
Satu dekade yang lalu, dia tinggal di kota pusat ekonomi India itu. Menurutnya, sangat sulit hidup hanya bermodalkan 14,000 rupee (Rp 2.539.047) sebulan, karena harga sewa dan makanan yang tinggi.
Bahkan Bengaluru, kota pusat teknologinya India, yang kian dipadati migran, menjadi sangat mahal pula, kata Nur.
"Saya memulangkan kembali istri dan anak saya ke kampung," katanya. "Dengan gaji saya, sangat sulit mengedukasi dia di sini. Saya akan tinggal sendiri sekarang."
Tidak sedikit para migran menjadi sangat kecewa, sampai-sampai mereka kembali ke kampung halamannya.
Bhikhari Manhi (30) meninggalkan kampungnya di negara bagian Odisha dan bekerja di Bengaluru. Di sana, dia dijanjikan pekerjaan sebagai buruh konstruksi dengan gaji 10,000 rupee per bulan (Rp 1.813.605). Kontraktornya hanya membayarnya 100 rupee (Rp 18.136) tiap minggunya selama dua bulan. Meski berjanji akan membayar sisanya, namun bayaran itu tak kunjung datang.
"Ketika kami meminta uang kami, kami dihajar," katanya.
Awal bulan ini, Manjhi dan dua warga dari kampung halamannya berjalan sejauh kurang lebih 1,000km selama lebih dari tujuh hari, untuk pulang.
"Kita tinggal di area hutan, dan mendapat 15,000 rupee (Rp 2.720.407) per tahun," ujarnya tentang kondisinya saat ini.
Di kota-kota seperti Bengaluru, seseorang bisa menghasilkan lebih dari jumlah itu dalam sebulan. Tetapi Manjhi mengatakan bahwa dia tidak mau kembali ke sana lagi.
Berdasarkan data 2020 dari Organisasi Buruh Internasional, migran berkontribusi sebesar 10 persen dari total produk domestik bruto. Mereka adalah tulang punggung beberapa sektor. Uang yang mereka kirimkan ke kampung halamannya mengurangi tingkat kemiskinan keluarganya dan meningkatkan kesejahteraan mereka, kata laporan tersebut.
Para ahli mengatakan bahwa pemerintah perlu menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan itu merata di tiap sudut negara, terutama di bagian utara dan timur yang perkembangannya masih kurang.
"Desa-desa India (hanya) memberikan pekerjaan dalam bentuk pengangguran terselubung," kata kepala Pusat Pemantauan Ekonomi India, Mahesh Vyas.
Artinya, meskipun ada lebih banyak pekerjaan di bidang pertanian, hasil pertanian tidak bertambah sama sekali, katanya. Satu-satunya investasi di daerah pedalaman selain pertanian adalah proyek infrastruktur sementara, yang memberikan pekerjaan jangka pendek.
Perkotaan, meski memiliki banyak kekurangan, akan tetap menarik perhatian para migran, karena menjadi tempat terbaik yang bisa menawarkan pekerjaan, katanya lagi. Kumar dari Jaunpur setuju tentang hal itu.
Dengan potongan rambut baru dan kacamata hitam, Kumar merekam video dan mengambil foto selama kunjungannya ke tempat-tempat wisata di Mumbai untuk diunggah ke akun sosial medianya.
"Saya sangat senang tempat ini... Jauh lebih baik dibandingkan kampung saya," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pabrik iPhone di India tutup karena pekerja keracunan makanan
Baca juga: Tembok pabrik di India ambruk, tewaskan 12 pekerja
Baca juga: Banyak kawasan di Mumbai India mati listrik
Penerjemah: Mecca Yumna
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023
Tags: