Seoul (ANTARA News) - Presiden Korea Selatan terpilih, Park Geun-hye, memanfaatkan pidato besar pertamanya, Kamis, untuk memperingatkan risiko dari Korea Utara yang bermusuhan. Dia juga melepaskan panah serangan politik kepada Perdana Menteri mendatang Jepang, Shinzo Abe.

Berbicara setelah satu kunjungan ke taman makam pahlawan nasional negeri itu yang juga menjadi tempat dimakamkannya mendiang ayahanda dan ibundanya yang mati dibunuh, perempuan presiden pertama Korsel ini menjanjikan untuk lebih memakmurkan lagi negerinya.

Park menyatakan dia akan mengadakan pembicaraan dengan Korea Utara dan melanjutkan bantuan kepada negara terisolasi dan gemar perang ini, namun hanya jika negara tersebut meninggalkan program senjata nuklirnya.

Pekan lalu, Utara yang miskin itu meluncurkan roket yang diduga sebagai uji teknologi yang bisa digunakan untuk missil jarak jauh yang suatu saat akan mampu membawa kepala nuklir.

"Peluncuran missil jarak jauh Korea Utara menunjukkan betapa berbahayanya realitas keamanan yang kita hadapi," kata Park dalam satu jumpa pers sehari setelah meraih kemenangan meyakinkan dalam Pemilu kemarin, seperti dikutip Reuters.

Park akan naik tampuk kekuasaan pada Februari dan telah mengisyaratkan akan melanjutkan garis tegas presiden Korsel sekarang Lee Myung-bak seputar klaim-klaim teritorial yang melibatkan Jepang dan Korea Selatan.

Hubungan kedua negara yang sebenarnya sekutu kunci Amerika Serikat di Asia Timur ini dirusak oleh sengketa sebuah pulau, dan isu permintaan maaf serta kompensasi dari Jepang untuk perempuan-perempuan Korea yang dipaksa menjadi budak seks pada Perang Dunia Kedua.

Korea Utara menyebut Jepang yang juga berselisih dengan China soal klaim teritorial, tidak mau bertanggungjawab atas penjajahan Korea di masa lalu. Sebaliknya Jepang menyatakan telah membayar kompensasi dan telah meminta maaf.

"Saya akan mencoba bekerja untuk rekonsiliasi, kerjasama dan perdamaian lebih luas di Asia Timur Laut berdasarkan persepsi sejarah yang benar," katanya dalam satu penampilan yang berbarengan dengan memanasnya konflik dengan Tokyo.

Park (60 tahun) menggantikan tokoh sesama konservatif Lee setelah masa jabatan lima tahunnya berakhir.

Park yang elegan ini besar di istana kepresidenanSeoul selama 18 tahun kekuasaan ayahandanya, Park Chung-hee, yang merebut kekuasaan lewat kudeta militer pada 1961.

Beban luar biasa

Selasa lalu Park menyerukan rekonsiliasi nasional di Korea Selatan dan berjanji memeratakan kemakmuran, namun tidak membeberkan bagaimana dia mengimplementasikannya.

Dia sepertinya akan menghadapi protes dari kubu kiri Korea Selatan yang vokal dan marah terhadap berkuasanya anak dari seseorang yang mereka yakini sebagai diktator penindas.

"Ini akan menjadi beban yang luar biasa saat dia memerintah nanti," kata pengamat politik Yu Chang-seon. "Intinya dia akan menghadapi konflik langsung dengan separuh rakyat...Enam bulan pertama akan menjadi kunci."

Pada bidang ekonomi yang juga mendominasi kampanye selama pemilu, Park menjanjikan kesejahteraan sosial yang lebih besar, namun tidak membeberkan lebih luas.

Korea telah mencapai sukses menakjubkan setelah bangkit dari debu Perang Korea 1950-53, untuk menjadi ekonomi terbesar ke-14 di dunia, tapi ternyata persebaran kemakmuran tidak merata.

Pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5 persen selama berdekade-dekade, didorong oleh sejumlah perusahaan kelas dunia miliknya, seperti Samsung Electronics Co Ltd dan Hyundai Motor Co. Namun pertumbuhan itu melambat dan tahun ini ekonomi akan berekspansi sekitar 2 persen.

Ratusan ribu lulusan perguruan tinggi Korea Selatan setiap tahun mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan, sementara kesenjangan pendapatan semakin tajam.

Park memiliki waktu untuk melanjutkan warisan ayandanya berupa pertumbuhan ekonomi cepat yang melesakkan Korea Selatan ke liga negara-negara industri dunia.

Di sisi lain, dia meminta maaf atas tindakan keras ayahnya kala menghadapi demonstrasi di masa lalu, serta eksekusi kepada mereka yang disangka memihak Utara yang secara teknis masih berperang dengan Selata, menyusul sebuah gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea.

First Lady

Para keluarga dari orang-orang yang dieksekusi mati semasa kekuasaan ayahnya percaya Park tidak cukup meminta maaf, sebaliknya berusaha melupakan masa lalu.

Park pernah menjadi "First Lady" untuk ayahnya menyusul pembunuhan ibundanya pada 1974, yang kemudian disusul pembunuhan terhadap ayahnya pada 1979.

Eksekusi terkejam yang dilakukan semasa rezim Park Chung-hee adalah eksekusi delapan orang yang disebut "Partai Revolusioner Rakyat". Mereka digantung selama 24 jam setelah didakwa telah berkhianat pada negara.

Kedelapannya yang berusia antara 30 - 52 tahun mewakili kalangan biasa rakyat Korea Selatan, yaitu petani madu, pemilik kedai, akupunktur dan guru. Kedelapannya kemudian direhabilitasi dan dibebaskan dari tuduhan waktu itu, oleh Mahkamah Agung pada 2007.

"Yang perlu dilakukan Park adalah merengkuh semua orang, semua yang menentangnya, untuk menunjukkan perhatiannya dan menawarkan simpatinya serta mengatakan bahwa dia menyesal atas apa yang telah terjadi," kata pendeta Park Jung-il, yang adalah pembawa siraman rohani untuk kedepalan orang yang dieksekusi itu.

Di samping menghadapi pertanyaan di dalam negeri dari banyak warga Korea Selatan yang masih sakit hati atass pemerintahan ayahnya dulu, Park juga akan menghadapi Kim Jong-un, penguasa baru Korea Utara yang masih berusia 29 tahun, yang kakeknya pernah memerintahkan pembunuhan atas ayahnya dulu.

Pada 2002, Park pernah bertemu dengan Kim Jong-il, ayahanda dari Kim Jong-un, yang pada 2012 telah memerintahkan militernya menenggelamkan sebuah kapal perang Korea Selatan dan membomi sebuah pulau Korea Selatan.

Park mengatakan akan berusaha meningkatkan hubungan dengan Pyongyang.

Lee, presiden Korsel yang sekarang lagi menjabat, membuat marah Utara setelah menghentikan bantuan ke negara yang disebut PBB sepertiga penduduknya menderita kurang gizi.

Korea Utara sendiri tak berhasrat menempuh langkah kompromi dan baru-baru ini menyatakan tak akan mundur dari upayanya memiliki senjata nuklir yang disebut negeri ini "harta berharga".

Pekan lalu, di tengah sibuknya Korea Selatan menggelar Pemilu, tekad itu ditunjukkan dengan peluncuran roket, padahal resolusi-resolusi PBB telah melarang Utara melakukan itu, menyusul uji nuklir negara itu pada 2006 dan 2009.

Park sendiri menjadi target serangan mesin propaganda Pyongyang, dengan mengecam lima tahun kekuasaan Lee telah membawa negeri itu ke "mimpi buruk, putus asa, dan bencana", demikian Reuters.