Seoul (ANTARA News) - Park Geun-hye, perempuan presiden terpilih Korea Selatan, Kamis, bersumpah untuk memprioritaskan keamanan nasional dan Korea Utara dalam pemerintahannya. Dia mencatat sejarah sebagai perempuan pertama Korea Selatan di kursi kepresidenan.

Dalam pidato pertamanya sejak pemilu bersejarah, Park menekankan ancaman keamanan, yang ditimbulkan Korea Utara, yang ditegaskan dengan peluncuran roket baru-baru ini.

Dia juga berjanji mengupayakan stabilitas regional di Laut China Timur, yaitu wilayah sengketa teritorial antara Korea Selatan, China, dan Jepang. China sangat ekspansif dan ambisius berusaha memperluas wilayahnya, termasuk mengerahkan "otot" militernya kepada negara-negara kawasan dan tidak mengindahkan tataperilaku internasional.

"Peluncuran roket jarak jauh Korea Utara secara simbolis menunjukkan seberapa serius situasi keamanan yang kita hadapi," kata Park.

"Saya akan menepati janji saya untuk membuka era baru di semenanjung Korea, berdasarkan keamanan yang kuat dan kepercayaan berbasis diplomasi.

Selama kampanyenya, Park menjauhkan diri dari kebijakan garis keras Presiden Lee Myung-bak, yang menghentikan bantuan kemanusiaan kepada Korea Utara.

Park menjanjikan kebijakan ganda berupa keterikatan yang lebih besar dan pencegahan penguatan, dan bahkan mengulurkan prospek pertemuan puncak dengan pemimpin muda Korea Utara, Kim Jong-un, yang berkuasa satu tahun lalu.

Para pengamat mengatakan Park akan dibatasi kelompok garis keras konservatif New Frontier Party (NFP), serta niat masyarakat internasional untuk menghukum Korut atas uji coba rudal balistik terselubungnya.

"Saya juga akan bekerja lebih keras untuk rekonsiliasi dan perdamaian Laut Cina TImur, sambil menambahkan bahwa kepercayaan dan stabilitas regional harus didasarkan pada persepsi sejarah yang benar," kata dia.

Seoul dan Tokyo terlibat sengketa kedaulatan dengan Korea Selatan, yang mengontrol pulau-pulau di Laut Jepang. Jepang terperosok dalam sengketa berbeda, namun serupa dengan China.

Ada kekhawatiran di Korea Selatan, terkait kenangan pahit tentang penjajahan Jepang 1910-1945, tentang peningkatan nasionalisme di Jepang di bawah pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe.

Seoul bereaksi marah pada Oktober, ketika Abe mengunjungi Kuil Yasukuni di Tokyo, sebagai penghormatan 2,5 juta korban perang, termasuk 14 penjahat perang terkemuka dari Perang Dunia II.

Sebagai perdana menteri pada 2007, Abe marah kepada Korea Selatan dan menyangkal keterlibatan langsung militer Jepang terhadap kekerasan pada perempuan dan perbudakan seksual selama perang, yang banyak terjadi di semenanjung Korea.

(S038)