Bondowoso (ANTARA) - Mudik merupakan momen bahagia massal yang menjadi semacam tradisi dan ritual khusus bagi Muslim Indonesia, di luar kewajiban menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.

Tradisi mudik di Indonesia tidak hanya dijalani oleh orang-orang Islam, tetapi juga yang bukan beragama Islam. Beberapa dari mereka mudik karena memiliki keluarga atau orang tua yang Muslim, namun beberapa yang lain memanfaatkan waktu libur yang lebih panjang dari pada libur di waktu lain.

Suasana saat ini sangat berbeda dengan mudik pada masa lalu, dengan fasilitas transportasi saat ini yang mulai banyak pilihan serta dukungan dari pemerintah dan swasta lewat program mudik gratis.

Bukan hanya gratis, fasilitas yang disediakan oleh pelaksana program mudik gratis itu tidak "berkelas gratisan". Bahkan, fasilitas yang bisa dinikmati oleh pemudik gratis bisa jauh lebih bagus dari pada yang membayar dibandingkan dengan mudik pada masa lalu. Kini, pemudik gratis juga dimanjakan dengan tambahan makan gratis, termasuk juga sembako untuk keperluan mereka selama menikmati libur di kampung halaman.

Pemerintah, lewat berbagai lembaga, kementerian, dan perusahaan di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negeri (BUMN), kini berlomba menyuguhkan pelayanan terbaik. Semua ingin menjadi bagian dari kehadiran negara untuk warganya.

Beberapa moda transportasi yang disediakan bervariasi, mulai dari bus, kereta api, dan kapal laut, termasuk kapal perang milik TNI AL. Kini, bukan hanya orangnya yang bisa mudik, bahkan kendaraan roda dua, yang sesuai data pada masa lalu menjadi penyumbang terbanyak kasus kecelakaan lalu lintas saat arus mudik berlangsung.

Layanan yang menegaskan bahwa negara betul-betul hadir saat rakyatnya ingin bergembira bersama keluarga, juga diberikan saat para pemudik akan kembali ke kota tempat mereka tinggal dan bekerja, dikenal sebagai arus balik.


Zaman dulu

Bukan hanya karena kurangnya perhatian pemerintah, mudik pada zaman dulu, katakanlah sekitar tahun 1990-an ke belakang, selalu dilalui warga dengan penuh perjuangan, bahkan penderitaan.

Saat itu, program mudik gratis belum semarak seperti saat ini. Karena itu, hanya ada dua pilihan utama moda transportasi yang digunakan oleh para pemudik kelas bawah, yaitu kendaraan umum (bus, kereta api, kapal laut) dan sepeda motor.

Untuk mendapatkan tiket angkutan umum itu, para calon pemudik harus berjuang jauh-jauh hari, termasuk mengikuti antrean di lokasi penjualan atau pembelian tiket. Jika tidak sedang beruntung, calon pemudik harus pulang ke rumah dengan tangan hampa karena tidak kebagian tiket.

Mereka yang memiliki hubungan luas, masih bisa berharap mendapatkan tiket lewat calo, dengan konsekuensi harganya lebih mahal dari harga sebenarnya. Bagi yang tidak memiliki mobil, pilihan terakhir adalah mudik dengan sepeda motor. Moda ini banyak dipilih karena lebih murah, dengan lebih sedikit menghabiskan bahan bakar.

Mudik dengan sepeda motor ini banyak dipilih karena juga multiguna. Ketika tiba di kampung halaman, sepeda motor bisa digunakan pemudik saat bersilaturahmi dengan sanak familinya.

Kala itu, pemandangan di perjalanan banyak diwarnai dengan pengguna sepeda motor yang berboncengan lebih dari satu orang sehingga berisiko tinggi terjadi kecelakaan. Belum lagi sepeda motor yang kapasitas aslinya itu untuk dua orang, juga dipenuhi dengan barang bawaan yang ditaruh di bagian depan pengemudi atau tangki bensin untuk sepeda motor jenis laki, atau diikat di bagian belakang kendaraan.

Dengan beban yang berat dan penumpang melebihi kapasitas, maka kestabilan kendaraan menjadi berkurang, ditambah dengan kondisi jiwa dan tubuh pengemudi yang lelah sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.

Sementara dengan bus, baik antarkota dalam provinsi maupun yang trayeknya antarkota antarprovinsi, jumlah penumpangnya bertambah berkali lipat dari biasanya. Bukan hanya bus biasa yang mengangkut penumpang melebihi muatan, bahkan bus jenis patas pun tidak jauh berbeda. Penumpang kadang harus rela duduk di lantai bus karena kursi yang tersedia sudah penuh. Kursi yang biasanya hanya untuk tiga orang, bisa terisi empat hingga lima orang.

Saat-saat arus mudik kala itu, menjadi "pesta" pendapatan bagi kru bus. Tidak jarang kernet bus menolak calon penumpang dengan rute pendek. Misalnya, untuk bus jurusan Surabaya-Banyuwangi, jangan harap penumpang yang turun di Pasuruan atau Probolinggo akan mudah naik ke bus. Biasanya mereka akan ditolak oleh kernet atau kondektur. Selain penumpang yang penuh sesak, awak bus umumnya menaikkan harga tiket yang bagi penumpang tidak ada pilihan lain, kecuali membayar agar bisa berlebaran di kampung halaman. Suasana lebih terasa tidak nyaman jika pemudik itu pulang bersama keluarga, khususnya anak-anak.

Anak kecil biasanya rewel dan menangis karena suasana dalam bus yang pengap dan sesak. Dalam kondisi seperti itu, bus masih sering berhenti sekian lama di tengah jalan untuk menaikkan penumpang lagi, padahal di dalam sudah banyak yang berdiri.

Kala itu sangat sulit menemukan wajah pemudik yang menggunakan bus itu semringah. Semuanya berwajah kecut karena batinnya tidak nyaman.

Bagaimana dengan yang di kereta api? Setali tiga uang. Mereka juga tidak bisa menghindar dari suasana kendaraan umum yang pengap. Sudah menjadi pemandangan biasa jika di dalam gerbong kereta, khususnya kelas ekonomi, pantat penumpang satu bersentuhan kepala penumpang lainnya. Dalam suasana yang penuh sesak itu, masih ditingkahi dengan aksi penjual makanan atau rombongan pengamen yang leluasa naik turun gerbong kereta api. Tidak sedikit penumpang yang duduk di lantai karena tidak kebagian kursi. Bahkan, kolong di bawah kursi juga terisi penumpang dengan posisi tiduran beralas koran atau kertas seadanya.

Kondisi kereta api kemudian berubah total setelah Dirut PT KAI dijabat oleh Ignasius Jonan. Warisan perombakan manajemen perkeretaapian menjadi modern dan nyaman untuk semua kelas itu terasa hingga saat ini, termasuk yang bisa dinikmati oleh pemudik.

Tingkah penjual makanan dan pengamen yang mungkin sedang berjuang mendulang Rupiah untuk memenuhi keperluan Lebaran juga banyak terlihat di dalam angkutan bus.

Bagi pemudik yang lintas pulau, seperti dari Jawa yang "toron" ke Madura harus melewati lintas perjuangan tersendiri, selain di dalam bus. Sebelum ada Jembatan Surabaya -Madura (Suramadu), perantau asal Madura yang ingin mudik, biasa disebut "toron" (turun), harus menyeberang dengan kapal feri. Karena arus kendaraan segala jenis yang meningkat, maka untuk masuk ke kapal harus antre. Panas dan pengap terasa bagi penumpang, ditambah suhu udara di areal pelabuhan yang cenderung lebih panas. Tangis bayi dan anak-anak biasanya lebih nyaring saat bus antre untuk masuk ke kapal feri itu.

Pemudik dengan sepeda motor juga harus mengalami sesaknya kendaraan yang berebut masuk ke dalam kapal itu. Suasana panas ditambah dengan ulah pemudik yang justru memainkan gas kendaraan itu saat antre menambah panas suasana. Karena berencana melakukan perjalanan jauh, umumnya pengemudi menggunakan jaket sehingga sangat terasa panas saat di pelabuhan dan kendaraannya tidak sedang melaju.

Kondisi serupa juga terjadi di Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali, yang dilalui pemudik dari Denpasar dan sekitarnya untuk pulang kampung ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan sebagian ke Madura. Antrean bus dan sepeda motor yang akan menumpang kapal feri menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, juga tidak kalah banyak dibandingkan dengan yang dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya menuju Pelabuhan Kamal, Bangkalan, Madura.

Kondisi terus berubah. Kini masyarakat merasakan ritual mudik dengan lebih nyaman, termasuk yang menggunakan mobil pribadi atau bahkan dengan mobil travel dan mobil sewa yang kini juga menjamur. Persewaan mobil dan travel laris menunjukkan adanya peningkatan ekonomi masyarakat kita saat ini.

Jika semua kenyamanan saat mudik itu dirasakan berbeda jauh dengan di masa lalu, maka peringatan dengan nada tanya dari Allah Swt. dalam kitab suci Alquran, patut menjadi renungan bersama, yakni "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (Quran, Surat Ar Rahman).