Menkeu Sri Mulyani masih waspadai krisis perbankan Eropa dan AS
17 April 2023 15:38 WIB
Tangkapan layar - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi April 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin (17/4/2023). ANTARA/Agatha Olivia Victoria/pri.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan krisis perbankan yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) masih harus diwaspadai sebagai tantangan jangka menengah-panjang dalam prospek ekonomi global.
Hal tersebut merupakan salah satu kesimpulan dari pembahasan dalam Spring Meeting IMF-World Bank 2023 di Washington, AS. Dalam kesempatan itu, dibahas apakah krisis perbankan di Eropa dan AS sudah teratasi atau masih harus diwaspadai.
"Adanya kenaikan inflasi yang tinggi, suku bunga tinggi, dan pengetatan likuiditas telah menimbulkan dampak kepada sektor keuangan, terutama perbankan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi April 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Ekonom: Penjaminan dana deposan di AS redam krisis keuangan global
Ia menjelaskan saat ini dunia masih mengalami tingkat inflasi tinggi, baik Indeks Harga Konsumen (IHK) maupun inflasi inti, yang direspons dengan peningkatan suku bunga kebijakan moneter yang tetap bertahan tinggi sampai inflasi bisa dikendalikan.
Kebijakan tersebut ditambah dengan pengetatan likuiditas untuk bisa mengendalikan sisi permintaan dalam perekonomian, yang akan menyebabkan pelemahan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang mengeluarkan kebijakan.
Kombinasi inflasi dan suku bunga tinggi pun menyebabkan perekonomian di negara maju seperti AS dan Eropa melambat signifikan pada tahun 2023, sehingga pada akhirnya akan memberikan dampak bagi negara-negara berkembang dan pasar berkembang yang sangat mengandalkan ekspor.
Di sisi lain, Bendahara Negara ini menambahkan, kebijakan pembukaan kembali ekonomi China belum mampu memulihkan perekonomian Negeri Panda secara signifikan.
"Kondisi ini berarti sumber perekonomian dunia masih sangat lemah tahun ini sehingga akan mempengaruhi volume dan transaksi ekspor-impor antar negara yang pasti mengalami pelemahan," ungkapnya.
Oleh karenanya, ia menyebutkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari berbagai lembaga internasional pada tahun 2023 masih cukup rendah, yakni di kisaran 2,8 persen dari realisasi tahun 2022 yang sebesar 3,4 persen atau 6,3 persen pada tahun 2021.
Sementara untuk inflasi, perkiraannya untuk negara berkembang masih cukup tinggi yakni 8,6 persen pada tahun ini, sebesar 4,7 persen untuk negara maju 4,7, dan untuk keseluruhan global sebesar 7 persen.
"Artinya inflasi masih akan cukup tinggi pada jangka yang cukup panjang atau higher for longer," tutur Menkeu.
Baca juga: Ketua OJK minta CEO jasa keuangan proaktif hadapi krisis global
Hal tersebut merupakan salah satu kesimpulan dari pembahasan dalam Spring Meeting IMF-World Bank 2023 di Washington, AS. Dalam kesempatan itu, dibahas apakah krisis perbankan di Eropa dan AS sudah teratasi atau masih harus diwaspadai.
"Adanya kenaikan inflasi yang tinggi, suku bunga tinggi, dan pengetatan likuiditas telah menimbulkan dampak kepada sektor keuangan, terutama perbankan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi April 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Ekonom: Penjaminan dana deposan di AS redam krisis keuangan global
Ia menjelaskan saat ini dunia masih mengalami tingkat inflasi tinggi, baik Indeks Harga Konsumen (IHK) maupun inflasi inti, yang direspons dengan peningkatan suku bunga kebijakan moneter yang tetap bertahan tinggi sampai inflasi bisa dikendalikan.
Kebijakan tersebut ditambah dengan pengetatan likuiditas untuk bisa mengendalikan sisi permintaan dalam perekonomian, yang akan menyebabkan pelemahan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang mengeluarkan kebijakan.
Kombinasi inflasi dan suku bunga tinggi pun menyebabkan perekonomian di negara maju seperti AS dan Eropa melambat signifikan pada tahun 2023, sehingga pada akhirnya akan memberikan dampak bagi negara-negara berkembang dan pasar berkembang yang sangat mengandalkan ekspor.
Di sisi lain, Bendahara Negara ini menambahkan, kebijakan pembukaan kembali ekonomi China belum mampu memulihkan perekonomian Negeri Panda secara signifikan.
"Kondisi ini berarti sumber perekonomian dunia masih sangat lemah tahun ini sehingga akan mempengaruhi volume dan transaksi ekspor-impor antar negara yang pasti mengalami pelemahan," ungkapnya.
Oleh karenanya, ia menyebutkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari berbagai lembaga internasional pada tahun 2023 masih cukup rendah, yakni di kisaran 2,8 persen dari realisasi tahun 2022 yang sebesar 3,4 persen atau 6,3 persen pada tahun 2021.
Sementara untuk inflasi, perkiraannya untuk negara berkembang masih cukup tinggi yakni 8,6 persen pada tahun ini, sebesar 4,7 persen untuk negara maju 4,7, dan untuk keseluruhan global sebesar 7 persen.
"Artinya inflasi masih akan cukup tinggi pada jangka yang cukup panjang atau higher for longer," tutur Menkeu.
Baca juga: Ketua OJK minta CEO jasa keuangan proaktif hadapi krisis global
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2023
Tags: