Jakarta (ANTARA News) - Biaya sosial yang terbuang akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya diperkirakan mencapai Rp68 triliun per tahun.

Kemacetan membuat sekitar 5-10 persen penghasilan keluarga dihabiskan untuk keperluan transportasi, kata Chairman Infrastructure Partnership and Knowledge Centre, Harun Al Rasyid Lubis, di Jakarta, Selasa.

"Jumlah itu, mulai dari biaya bahan bakar, biaya kesehatan hingga polusi udara. Betapa borosnya kita hanya untuk kemacetan harus dikeluarkan sebesar itu," katanya dalam diskusi "Upaya Mengurai Kemacetan Lalu Lintas di Jakarta dan Sekitarnya Melalui Percepatan Penyelesaian Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta".

Menurut dia, saat ini di Jakarta, sebanyak 5-10 persen penghasilan keluarga dihabiskan untuk transportasi dan dibutuhkan 100 juta dolar AS untuk biaya pengobatan ISPA (gangguan reproduksi, kanker, paru-paru, serta perubahan genetic) yang disebabkan emisi kendaraan.

"Saya mencoba untuk memprediksi kembali estimasi biaya sosial kemacetan di Jakarta itu Rp68 triliun/tahun atau Rp186 miliar/hari," katanya.

Jumlah sebesar itu, kata dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, jauh meningkat dibanding 2003 sebesar Rp17,2 triliun.

Ia juga mengatakan, tak hanya di Jakarta, kemacetan pun terjadi di kota-kota besar lain.

Dia mencontohkan, kerugian masyarakat Kota Bandung pada tahun ini akibat kemacetan mencapai Rp5 triliun/tahun atau Rp14 miliar/hari.

"Di mana-mana kemacetan itu ada, di luar negeri pun ada. Namun bedanya kota-kota besar di luar negeri itu kemacetannya bisa dikendalikan, di kita nggak," katanya.

Oleh karena itu, tegasnya, diperlukan evaluasi menyeluruh yang komprehensif atas efektivitas perencanaan dan upaya pengembangan sistim transportasi di semua moda, baik jalan baru (tol/non tol), flyover, pelebaran, peningkatan geometri persimpangan dan lainnya.

"Termasuk juga BRT/busway, bus, metomini, KWK, Railway KRL, MRT dan LRT serta monorel," katanya.

Bagi pengamat perkotaan Yayat Supriatna, sebaiknya untuk membenahi Jakarta, tidak dibebani dengan kepentingan politis. "Jangan setiap pejabat baru, ingin menggebrak dengan kebijakan baru, tetapi kenyataannya, tidak sesuai dengan kebutuhan dan regulasi yang ada," katanya.

Dia memberikan contoh, rencana kebijakan penerapan jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) yang didahului dengan nomor polisi ganjil-genap, ternyata status hukumnya dari UU Perpajakan bermasalah.

"Ini gimana?," katanya.

Pesimis

Sementara itu, Ketua Asosiasi Tol Indonesia, Fatchur Rochman mengatakan, pihaknya pesimistis persoalan sulitnya pembebasan lahan pembangunan jalan tol lingkar luar Jakarta W2 bisa selesai akhir tahun ini.

"Saya pesimis bisa selesai proyek itu akhir 2013 karena janji pembebasan lahan di proyek JORR W2 sampai sekarang belum terlaksana," katanya.

Hal itu karena, kata Fatchur, UU dan Perpres tentang Pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, malah diamputasi. "Pemerintah makin gak jelas," katanya.

Diaz Morena, Direktur Keuangan dan Kepala Divisi Teknik PT Marga Lingkar Jakarta, selaku pemegang konsesi tol JORR W2, mengakui hingga saat ini, sisa lahan yang belum dibebaskan masih 8,5 persen.

"Masih ada 140 bidang tanah milik warga yang belum dibebaskan. Tetapi, ini sangat kacau karena mereka memenangkan hingga PTUN tingkat MA," kata Diaz.

Padahal, baik Fatchur maupun Diaz sepakat, bahwa nilai strategis proyek tersebut luar biasa. "Jika proyek itu selesai maka pengguna lalu lintas punya alternatif dan sekaligus mengurangi kemacetan tol dalam kota Jakarta," kata Fatchur.

(E008)