Jakarta (ANTARA) - Berang atas lawatan Pemimpin Taiwan Tsai Ing- wen ke Amerika Serikat pada Rabu (5/4), militer China kembali menggelar simulasi tempur untuk mengepung pulau yang masih dianggapnya sebagai bagian wilayahnya itu.

Seperti dirilis dalam video berdurasi singkat pada akun We Chat, Komando Wilayah Timur China pada 10 April lalu, tampak tayangan komunikasi antara pilot pesawat tempur dengan komandannya.

Sang pilot melaporkan, ia sudah mendekati wilayah utara Taiwan, sasaran sudah terkunci dan rudal siap diluncurkan, menimpali suara lain berupa instruksi komandannya: “Nyalakan radar, kunci target!”.

Sementara dalam cuplikan video layar raksasa di kawasan publik di Beijing, tampak pesawat-pesawat tempur Angkatan Laut Tentara Pembebasan China (PLA) sedang lepas landas dari geladak kapal induk Shandong.

Shandong berbobot 70-an ribu ton, panjang 315 meter, dan lebar 75 meter yang mampu mengangkut 36 pesawat tempur Pinyin (Hiu Terbang) J-15 modifikasi Sukhoi SU-33 eks-Soviet adalah kapal induk kedua China yang pertama dibangun penuh di galangan dalam negeri, lalu menyusul Fujian yang ketiga.

Sementara kapal induk pertama China, Liaoning adalah bekas kapal purwarupa eks-Ukraina yang mangkrak, lalu pembangunannya diteruskan China pasca runtuhnya Uni Soviet pada akhir 1990.

Di akhir latihan gabungan bersandi “Joint Swords” (Pedang Gabungan) yang digelar 8 -10 April lalu, PLA menyatakan kesiapan penuh China berperang, kapan pun untuk melawan aksi separatis, kemerdekaan Taiwan dan campur tangan asing.

PLA mengklaim bahwa latihan itu bertujuan menguji berbagai aspek kemampuan dan koordinasi antarcabang satuan ketiga matra (darat, laut dan udara).

Latihan gabungan tersebut mengambil lokasi di sekitar Pulau Pingtan yang merupakan titik terdekat dari daratan China ke Taiwan yang kemungkinan menjadi tumpuan operasi amfibi untuk merebut Taiwan.

Pengerahan armada laut dan pesawat-pesawat pengebom Pinyin J-15, Shenyang J-16 (modifikasi Sukhoi SU-30 eks-Soviet) ,dan Xian H-6 (modifikasi Tupolev TU-16) bertujuan memblokade Taiwan dari berbagai arah, sehingga terisolasi dari akses bantuan asing.

Presiden Tsai sendiri tetap nekat menemui Ketua DPR Amerika Serikat Kevin McCarthy di Simi Valley, California, AS (5/4), padahal China sudah berkali-kali mengingatkan akan mengambil tindakan keras jika hal itu dilakukan.

Di AS, di sela lawatan ke Belize dan Guatemala yang sudah mengakui kemerdekaan Taiwan, Tsai juga bertemu senator pendukung kemerdekaan Taiwan Dan Sullivan serta Jony Ernst dari Partai Republik dan Mark Kelly dari Partai Demokrat.

Lawatan Tsai di Simi Valley, 40 kilometer dari Los Angeles, menurut pengamat dari Universitas Tamkang,Taiwan Lin Ying Yu, sangat penting dalam upaya meminta penegasan lagi dukungan AS.

Tsai ingin memastikan, AS sebagai mitra terdekat Taiwan tidak akan membiarkan China terus menggoyang stabilitas di Selat Taiwan dengan manuver-manuver militer, termasuk oleh pesawat-pesawat tempurnya di Zona Identifikasi Pertahanan Udaranya (ADIZ).

China saat itu juga merespons lawatan Ketua DPR AS sebelumnya, Nancy Pelocy ke Taipei, pada Agustus 2022 dengan langsung menggelar latihan perang besar-besaran di Selat Taiwan berhari-hari.

Intelijen AS memperkirakan, Tentara Rakyat China (PLA) memiliki kekuatan yang cukup untuk menginvasi Taiwan pada 2027, walau tidak bisa dipastikan, apakah hal itu akan diwujudkan.


Bagai Bumi dan Langit

Perbandingan militer antara Taiwan dan China bak bumi dan langit, tercermin dari anggaran militer Taiwan yang hanya 13,72 miliar Dolar AS (Rp212,7 triliun) pada 2023 dibandingkan China 224 miliar Dolar AS (Rp3,472 kuadriliun) atau ranking ke-2 global setelah AS.

China, menurut Global Firepower, memiliki dua juta lebih personel tetap, didukung 5.400 tank, 13.000 kendaraan lapis baja, 9.834 pucuk artileri, peluncur roket dan rudal, didukung 600 kapal perang, termasuk tiga kapal induk dan 70 kapal selam serta 1.600 pesawat, termasuk 400 pesawat tempur.

Selain itu, China juga merupakan salah satu kekuatan nuklir global dengan berbagai rudal balistik seri Dong Feng yang mampu membawa hulu ledak nuklir yang berfungsi, selain efek penggentar (deterrent effect) juga sebagai senjata pemusnah massal.

Sebaliknya, total tentara Taiwan hanya 169.000 orang, didukung 1.100 tank dan 3.700-an kendaraan lapis baja, 2.093 artileri dan 115 peluncur roket, 30-an kapal perang, 300-an pesawat tempur.

Namun, Taiwan tidak bisa dianggap remeh karena walau kecil dalam jumlah, tentaranya sangat terlatih dan menggunakan persenjataan canggih, terutama yang dipasok AS dan negara-negara Barat lain.

Lagi pula, jika China nekat menyerbu Taiwan, tentu AS dan para sekutunya, terutama seluruhnya 31 negara yang bernaung di bawah bendera aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tak akan berpangku tangan.

Sejauh ini tekad China untuk merebut kembali Taiwan yang dianggap bagian wilayahnya baru sekedar retorika dan latihan perang di Selat Taiwan atau menerbangkan pesawat-pesawat tempurnya ke dekat Zona Identifikasi Pertahanan Udara Taiwan (ADIZ).

Taiwan berusaha membebaskan diri dari China daratan sejak kekalahan kubu nasionalis Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek dari pasukan komunis China pimpinan Mao Zedong pada 1949.

Dalam Kongres Partai Komunis China pada Maret lalu, Presiden Xi Jin Ping agak melunak dengan menyatakan akan mengupayakan penyatuan kembali Taiwan dengan cara damai.

Taiwan sendiri baru diakui oleh belasan negara kecil di Amerika Selatan, Karibia dan Pasifik walau hubungan perdagangan dan investasinya dengan berbagai negara di dunia terus berkembang pesat.

PBB melalui Resolusi 2758 tahun 1971 mengalihkan pengakuan diplomatik ke RRC sebagai satu-satunya wakil Tiongkok yang sah, sehingga Taiwan terpaksa hengkang dari perhimpunan bangsa-bangsa itu.

Sejumlah pihak yang mengakui Taiwan, yaitu Belize, Eswatini, Haiti, Honduras, Nikaragua, Nauru, Paraguay, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Guatemala, Saint Kitts dan Nevis,Tuvalu, Kep. Marshall, Palau dan Vatikan City. Sementara Honduras berpaling ke China baru-baru ini.

Sukar untuk memprediksi jadi tidaknya atau kapan persisnya China akan mengambil alih Taiwan seperti berulang kali dinyatakan pemimpin China di berbagai kesempatan. Namun, bila perang tak terhindari, dampaknya bakal jauh lebih besar bagi perekonomian global ketimbang Perang Rusia vs Ukraina, mengingat vitalnya alur Selat Taiwan bagi pelayaran internasional.

Selain itu, serangan China tentu juga bakal menyeret AS dan negara-negara Barat sekutunya yang berada di belakang Taiwan, sebaliknya, China paling tidak kemungkinan bakal didukung Rusia.

Solusi damai, pasti lebih aman dan menghindarkan umat manusia dari malapetaka dan kehancuran.

*) Nanang Sunarto adalah mantan Wakil Pemimpin Redaksi ANTARA

*) Pandangan dan pendapat yang dikemukakan pada artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA