Pakar: Banjir perkotaan bisa diantisipasi dengan kolam retensi pribadi
(kiri ke kanan) Deputy Director Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper Yogyakarta Agus Setyarso; Anggota Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah & Perdesaan SAPPK ITB Hadi Nurtjahjo; Senior Assosiate Sustainitiate Haryadi Himawan; Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Universitas Padjadjaran Chay Asdak; Dewan Pakar Forum DAS Nasional Harry Santoso dalam sesi pembacaan kesimpulan diskusi ilmiah soal Kecukupan tutupan hutan dari perspektif daerah aliran sungai (DAS) dan Tata Ruang di Gedung Sekolah Pascasarjana Unpad, Bandung, Selasa (11/4/2023). (ANTARA/Ricky Prayoga)
Hadi saat ditemui di Sekolah Pascasarjana Unpad, Bandung, Selasa malam, mengatakan hal ini berfungsi untuk menampung air hujan karena selama banjir disebabkan oleh efek limpasan air hujan, dan di kota besar sangat minim resapan air.
"Jadi kalau kita bisa maksimalkan air hujan itu diresapkan, efek magnitude banjirnya akan berkurang," kata Hadi.
Kolam retensi pribadi tersebut, kata Hadi, bekerja dengan cara menampung sebanyak-banyaknya air hujan yang turun di rumah ke kolam retensi di bawah tanah dengan tujuan tidak langsung dibuang ke sungai atau saluran air luar rumah.
Baca juga: Empat rumah dan dua jalan terdampak longsor di Kabupaten Bandung
Baca juga: BPBD Jawa Barat: Banjir terjang tujuh kecamatan di Kabupaten Bandung
Air di kolam retensi tersebut, lanjut Hadi, masih bisa dimanfaatkan dengan disedot lagi ke atas tanah untuk kebutuhan rumah tangga dalam hal flushing atau menyiram toilet, kemudian menyiram tanaman, atau keperluan lainnya selain konsumsi dan kebutuhan tubuh.
"Jadi ini adalah solusi mikro di mana ketika lahan tidak ada untuk perbaikan ekologi lingkungan, artinya infrastruktur yang harus mengatur pengelolaan air agar ketika masuk sungai tidak menyebabkan banjir, artinya volumenya kita atur," ucap dia.
Walaupun merupakan solusi mikro yang "memanipulasi" debit air hujan dari rumah tinggal ke sungai dengan mengatur tempat parkir airnya dan dimanfaatkan, Hadi melihat ini bisa menjadi langkah solutif jika dilakukan secara masif.
"Bayangkan efek berkurangnya limpasan air ini, jika di setiap rumah di Kota Bandung melakukan langkah mengatur infrastruktur dengan kolam retensi ini," ujarnya.
Bahkan, kata dia, banjir tidak akan mungkin terjadi walau datang hujan ekstrim, jika kolam retensi itu berjalan, kemudian resapan di kota berfungsi dengan baik dan daerah hulu memiliki kualitas hutan yang bagus.
"Karena yang selama ini terjadi selain hujan ekstrim, ruang kota jadi padat, infrastruktur drainase buruk, hutan juga rusak, konsekuensinya banjir. Karenanya harus juga berjalan beriringan pengaturan makro oleh pemerintah dan pengaturan mikro di wilayah kita sendiri," tuturnya.
Wilayah perkotaan di Indonesia, bahkan termasuk Bandung dan sekitarnya, belakangan ini sering banjir cukup luas. Terakhir banjir terjadi pada Rabu (22/3) hingga Kamis (23/3) lalu di Kabupaten Bandung.
Banjir menggenangi tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Soreang, Kecamatan Kutawaringin, Kecamatan Bojongsoang, Kecamatan Ibun, Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Majalaya dan Kecamatan Baleendah, yang disebabkan meluapnya anak sungai Citarum yakni Sungai Ciwidey di beberapa titik.*
Baca juga: BPBD Jabar: Banjir Kabupaten Bandung sebabkan empat rumah rusak
Baca juga: Banjir dan longsor di Kabupaten Bandung akibat curah hujan tinggi
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023