Makassar (ANTARA) - Dua mantan direksi Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Kota Makassar yakni Direktur Utama Haris Yasin Limpo (HYL) dan Direktur Keuangan Irawan Abadi (IA) usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi langsung menjalani penahanan di Lapas Kelas I Makassar, Sulawesi Selatan.

"Terhadap tersangka HYL dan IA dilakukan penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejati Sulsel selama 20 hari ke depan terhitung mulai hari ini," ujar Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel Yudi Triadi kepada wartawan saat rilis kasus di teras kantor Kejati setempat, Selasa.

Penetapan tersangka tersebut setelah jaksa penyidik mendapatkan dua alat bukti yang sah serta telah keluarnya penghitungan kerugian keuangan negara dari BPKP sebagaimana yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHPidana.

Mengingat, keduanya semula berstatus saksi dan kini tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi penggunaan dana PDAM untuk pembayaran tantiem (keuntungan) dan bonus/jasa produksi dari tahun 2017 sampai tahun 2019.

Baca juga: Adik Mentan ditetapkan tersangka korupsi PDAM Makassar

Kemudian, penyimpangan premi asuransi dwiguna jabatan wali kota dan wakil wali kota sejak 2016-2019 oleh tersangka HYL selaku mantan Direktur Utama periode 2015-2019 juga diketahui adik kandung Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ini serta IA sebagai mantan Direktur Keuangan PDAM Makassar periode 2017-2019.

Terkait kronologi kasusnya, ungkap Yudi, sejak 2016-2019 PDAM Kota Makassar mendapatkan laba. Untuk penggunaan laba tersebut, mekanismenya dilakukan rapat direksi yang disetujui oleh Dewan Pengawas (Dewas) kemudian ditetapkan wali kota termasuk pembagian laba dirapatkan Direksi dan Dewas dan dicatat dalam notulensi rapat.

Namun faktanya, dari kurun tahun 2016 sampai tahun 2018 tidak pernah dilakukan pembahasan ataupun rapat direksi penetapan penggunaan laba dan pembagian laba serta tidak dilakukan notulensi, sehingga tidak terdapat risalah rapat.

Pengambilan keputusan itu hanya direksi berdasarkan rapat per bidang. Mengenai tentang keuangan, maka pembahasan hanya dari Direktur Utama dan Direktur Keuangan PDAM Kota Makassar.

Walaupun telah memperoleh laba, ungkap dia, seharusnya direksi memperhatikan adanya kerugian sejak PDAM berdiri, sebelum mengusulkan menggunakan laba tersebut.

Baca juga: Kejati Sulsel menggeledah Kantor PDAM Makassar terkait dugaan korupsi

Sehingga tersangka tidak mengindahkan aturan Permendagri nomor 2 tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM, Perda nomor 6 tahun 1974 dan PP 54 tahun 2017. Tersangka beranggapan kegiatan tahun berjalan telah memperoleh keuntungan, maka akumulasi kerugian masa lalu bukan menjadi tanggungjawabnya, melainkan direksi sebelumnya.

Kendaraan tahanan Kejaksaan Tinggi Sulsel bersiap membawa dua tersangka kasus dugaan korupsi PDAM Makassar ke Lapas Kelas I Makassar saat berada di teras kantor Kejati Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa (11/4/2023). ANTARA/Darwin Fatir.
Selain itu, terdapat perbedaan besaran penggunaan laba pada Perda dan PP khususnya untuk pembagian tantiem. Untuk Direksi 5 persen, bonus pegawai 10 persen. Sedangkan aturan dalam PP 54 pembagian tantiem dan bonus hanya 5 persen, sehingga aturan tersebut tidak digunakan untuk pembayaran penggunaan laba.

Begitu pula dengan premi asuransi dwiguna jabatan wali kota dan wakil wali kota pada asuransi sebagai pemilik modal mesti diberikan berdasarkan perjanjian kerja sama PDAM Kota Makassar melalui asuransi AJB Bumiputera.

Tetapi, tersangka berpendapat lain tanpa memperhatikan aturan, bahwa pemilik modal tidak dapat diberikan asuransi, karena yang wajib diikutsertakan hanya pegawai BUMD untuk jaminan kesehatan, hari tua dan jaminan sosial lainnya.

"Dari penyimpangan yang terjadi pada penggunaan laba untuk pembagian tantiem dan bonus jasa produksi serta premi asuransi dwiguna mengakibatkan kerugian keuangan daerah Kota Makassar khususnya PDAM senilai total Rp20,3 miliar lebih," ungkap Yudi kepada awak media.

Pasal yang disangkakan yakni pasal 2 ayat (1) Juncto pasal 18 Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 sebagaimana perubahan Undang-undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, juncto pasal 64 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman pidana paling lama 20 tahun penjara.
Baca juga: KPK tahan Dirut Traya Tirta Makassar
Baca juga: PDAM Makassar gratiskan biaya air masjid selama Ramadhan