Anggaran pengentasan prostitusi di Surabaya capai rp6,5 miliar
11 Desember 2012 18:59 WIB
Sejumlah tersangka jaringan prostitusi dengan sistem online diperlihatkan pihak kepolisian di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (7/12). Polisi berhasil menangkap tiga operator jasa prostitusi online dan lima orang Pekerja Seks Komersial (PSK) serta barang bukti berupa uang Rp 3.970.000, empat bungkus tisu basah, dua potong handuk, 20 lembar kartu diskon, empat lembar lembar key card hotel dan barang lainnya. (FOTO ANTARA/Dhoni Setiawan)
Surabaya (ANTARA News) - Anggaran pengentasan prostitusi salah satunya untuk membeli rumah-rumah bekas bordil atau tempat pelacuran di Kota Surabaya pada tahun anggaran 2013 mencapai Rp6,5 miliar.
Ketua Komisi D Bidang Kesra DPRD Kota Surabaya Baktiono, Selasa, mengatakan, ambisi besar Pemkot Surabaya untuk segera menuntaskan persoalan prostitusi di kota ini cukup diapresiasi.
"Namun kami masih meragukan efektivitas dari program pengentasan prostitusi yang anggarannya cukup besar itu," katanya.
Menurut dia, dalam pengalokasian anggaran pada APBD 2013 memberikan porsi lebih besar untuk penanganan masalah prostitusi daripada anggaran pengentasan kemiskinan yang hanya Rp2,6 Milliar.
"Dari program pengentasan PSK termasuk pembelian rumah prostitusi ini apakah benar benar bisa mengatasi persoalan prostitusi secara tepat. Kalau saat ini memang para pekerja seks komersial (PSK) pulang ke kampung halaman atau cuma modus saja," katanya.
Hal ini dikarenakan saat ini banyak prostitusi berkedok kos-kosan, hotel bahkan rumah tangga biasa.
"Sebenarnya kami kurang sepakat atas model pembelian eks rumah bordil ini, kalau ditutup, ya, ditutup saja dan harus diawasi," katanya.
Sedangkan uang yang buat membeli rumah bekas bordil semestinya digunakan untuk membiayai kegiatan lainnya yang selama ini belum didukung oleh Pemkot Surabaya seperti perbaikan dan pembenahan balai RT dan RW.
Disamping itu, menurut Baktiono dirinya kurang sepakat atas ide pembelian rumah prostitusi ini yang kabarnya bakal dialih fungsikan menjadi tempat kegiatan pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sejenisnya.
"Itu kurang pas mengingat lokasinya di area lokalisasi yang dikuatirkan berpengaruh secara psikologis terhadap anak-anak," katanya.
Lebih lanjut Baktiono mengatakan semestinya penanganan PSK atau prostitusi juga jangan hanya ditanggung oleh APBD Surabaya, melainkan juga perlu juga peran pemerintah provinsi Jatim atas masalah ini.
"Apalagi sebagian besar PSK itu berasal dari luar wilayah Surabaya," ujarnya.
Selama ini, intervensi dari pihak Pemprov Jatim baru sebatas pemberian uang saku terhadap PSK yang telah dientaskan, namun perlu ada intervensi juga atas pembinaan dan penanganannya secara bersama dengan Pemkot Surabaya. (A052)
Ketua Komisi D Bidang Kesra DPRD Kota Surabaya Baktiono, Selasa, mengatakan, ambisi besar Pemkot Surabaya untuk segera menuntaskan persoalan prostitusi di kota ini cukup diapresiasi.
"Namun kami masih meragukan efektivitas dari program pengentasan prostitusi yang anggarannya cukup besar itu," katanya.
Menurut dia, dalam pengalokasian anggaran pada APBD 2013 memberikan porsi lebih besar untuk penanganan masalah prostitusi daripada anggaran pengentasan kemiskinan yang hanya Rp2,6 Milliar.
"Dari program pengentasan PSK termasuk pembelian rumah prostitusi ini apakah benar benar bisa mengatasi persoalan prostitusi secara tepat. Kalau saat ini memang para pekerja seks komersial (PSK) pulang ke kampung halaman atau cuma modus saja," katanya.
Hal ini dikarenakan saat ini banyak prostitusi berkedok kos-kosan, hotel bahkan rumah tangga biasa.
"Sebenarnya kami kurang sepakat atas model pembelian eks rumah bordil ini, kalau ditutup, ya, ditutup saja dan harus diawasi," katanya.
Sedangkan uang yang buat membeli rumah bekas bordil semestinya digunakan untuk membiayai kegiatan lainnya yang selama ini belum didukung oleh Pemkot Surabaya seperti perbaikan dan pembenahan balai RT dan RW.
Disamping itu, menurut Baktiono dirinya kurang sepakat atas ide pembelian rumah prostitusi ini yang kabarnya bakal dialih fungsikan menjadi tempat kegiatan pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sejenisnya.
"Itu kurang pas mengingat lokasinya di area lokalisasi yang dikuatirkan berpengaruh secara psikologis terhadap anak-anak," katanya.
Lebih lanjut Baktiono mengatakan semestinya penanganan PSK atau prostitusi juga jangan hanya ditanggung oleh APBD Surabaya, melainkan juga perlu juga peran pemerintah provinsi Jatim atas masalah ini.
"Apalagi sebagian besar PSK itu berasal dari luar wilayah Surabaya," ujarnya.
Selama ini, intervensi dari pihak Pemprov Jatim baru sebatas pemberian uang saku terhadap PSK yang telah dientaskan, namun perlu ada intervensi juga atas pembinaan dan penanganannya secara bersama dengan Pemkot Surabaya. (A052)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012
Tags: