Faktor penyebab autisme dan beberapa cirinya
6 April 2023 18:43 WIB
Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial KSM Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) membeberkan sejumlah faktor yang bisa menjadi penyebab autisme dalam seminar daring, Kamis (6/4). (ANTARA/Pamela Sakina)
Jakarta (ANTARA) - Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial KSM Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) membeberkan sejumlah faktor yang bisa menjadi penyebab autisme dan beberapa cirinya.
Rini yang juga Dokter Spesialis Anak ini mengatakan autisme disebabkan oleh kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan.
“Ada juga faktor risiko dari genetik, faktor ini memiliki peranan penting terhadap risiko kejadian autisme, bisa dari keturunan yang dekat,” kata Rini pada seminar yang disiarkan secara daring, Kamis.
Baca juga: Atlet berkuda Claresta Amantha bersiap jadi pelatih terapi autis
Selain genetik, ternyata faktor lingkungan seperti penggunaan gawai secara berlebihan, menurut Rini, dapat memicu risiko kejadian autisme.
“Faktor lain yang perlu dicermati adalah simulasi yang salah. Simulasi itu kan harusnya dua arah, ini hanya satu arah yakni dari penggunaan gawai berlebihan, ini memberikan risiko kemungkinan kejadian autisme,“ jelas dia.
Lebih lanjut, anak dengan autisme dapat dikenali melalui beberapa ciri yang lumayan menonjol untuk dideteksi.
Meski anak dengan kondisi normal terkadang alami masalah serupa, namun keterlambatan kemampuan berbahasa dan kesulitan berkomunikasi menjadi salah satu indikasi kuat terhadap autisme.
Baca juga: Puluhan anak tunarungu dan autis di Bali dapat edukasi lingkungan
Anak dengan spektrum autisme juga mengalami gangguan sosialisasi, yang membuatnya tidak mampu bersosialisasi dengan teman-temannya maupun orang lain.
Kemudian, perilaku yang repetitif atau perilaku yang berulang dan tanpa tujuan, merupakan ciri khas anak dengan autisme.
“Itu adalah beberapa yang ternyata tidak terjadi pada anak pada umumnya, misalnya yang sering kita lihat dia sering menjejer barang-barang. Apa pun benda yang dia lihat sama, dia akan menjejernya,” imbuh Rini.
Deteksi dini, lanjut Rina, penting untuk dilakukan oleh orang tua. Banyak dari ibu dan ayah terlambat dalam menangani anak dengan autisme sehingga kondisi semakin parah hingga anak beranjak remaja.
Baca juga: Anak autisme perlu mendapat afirmasi positif untuk keberhasilan terapi
“Bertindak cepat, jangan menyangkal dan menganggap anak kita baik-baik saja, coba untuk move on dan segera atasi dan meminta pertolongan profesional,” tambahnya.
Meskipun data anak dengan gangguan autisme di Indonesia belum pasti, namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia dengan tingkat pertumbuhan 1,14 persen dapat diprediksi penderita autis di Indonesia berkisar 2,4 juta orang dengan peningkatan 500 orang per tahun.
Baca juga: Rayakan Hari Autisme, buku anak "Kado Alma untuk Dila" diluncurkan
Rini yang juga Dokter Spesialis Anak ini mengatakan autisme disebabkan oleh kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan.
“Ada juga faktor risiko dari genetik, faktor ini memiliki peranan penting terhadap risiko kejadian autisme, bisa dari keturunan yang dekat,” kata Rini pada seminar yang disiarkan secara daring, Kamis.
Baca juga: Atlet berkuda Claresta Amantha bersiap jadi pelatih terapi autis
Selain genetik, ternyata faktor lingkungan seperti penggunaan gawai secara berlebihan, menurut Rini, dapat memicu risiko kejadian autisme.
“Faktor lain yang perlu dicermati adalah simulasi yang salah. Simulasi itu kan harusnya dua arah, ini hanya satu arah yakni dari penggunaan gawai berlebihan, ini memberikan risiko kemungkinan kejadian autisme,“ jelas dia.
Lebih lanjut, anak dengan autisme dapat dikenali melalui beberapa ciri yang lumayan menonjol untuk dideteksi.
Meski anak dengan kondisi normal terkadang alami masalah serupa, namun keterlambatan kemampuan berbahasa dan kesulitan berkomunikasi menjadi salah satu indikasi kuat terhadap autisme.
Baca juga: Puluhan anak tunarungu dan autis di Bali dapat edukasi lingkungan
Anak dengan spektrum autisme juga mengalami gangguan sosialisasi, yang membuatnya tidak mampu bersosialisasi dengan teman-temannya maupun orang lain.
Kemudian, perilaku yang repetitif atau perilaku yang berulang dan tanpa tujuan, merupakan ciri khas anak dengan autisme.
“Itu adalah beberapa yang ternyata tidak terjadi pada anak pada umumnya, misalnya yang sering kita lihat dia sering menjejer barang-barang. Apa pun benda yang dia lihat sama, dia akan menjejernya,” imbuh Rini.
Deteksi dini, lanjut Rina, penting untuk dilakukan oleh orang tua. Banyak dari ibu dan ayah terlambat dalam menangani anak dengan autisme sehingga kondisi semakin parah hingga anak beranjak remaja.
Baca juga: Anak autisme perlu mendapat afirmasi positif untuk keberhasilan terapi
“Bertindak cepat, jangan menyangkal dan menganggap anak kita baik-baik saja, coba untuk move on dan segera atasi dan meminta pertolongan profesional,” tambahnya.
Meskipun data anak dengan gangguan autisme di Indonesia belum pasti, namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia dengan tingkat pertumbuhan 1,14 persen dapat diprediksi penderita autis di Indonesia berkisar 2,4 juta orang dengan peningkatan 500 orang per tahun.
Baca juga: Rayakan Hari Autisme, buku anak "Kado Alma untuk Dila" diluncurkan
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023
Tags: