KPPOD : Aceng Fikri harus diberhentikan dari jabatan
7 Desember 2012 15:26 WIB
Massa dari beberapa organisasi berdemonstrasi menuntut Bupati Garut Aceng HM Fikri mundur dari jabatan pada Selasa (4/12). Mereka menilai tindakan Aceng tidak mencerminkan perilaku pemimpin karena menceraikan perempuan melalui SMS setelah empat hari menikahinya.(ANTARA/Feri Purnama)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan Bupati Garut Aceng HM Fikri harus diberhentikan dari jabatannya, bukan hanya diharapkan untuk mengundurkan diri.
"DPRD harus memundurkan Aceng dan memaksa dia untuk meminta maaf kepada publik atas pelanggaran moral yang dia lakukan," kata Robert saat berbicara dalam acara tayang bincang bertajuk "Bila Pejabat Publik Melanggar Hukum dan Etika" di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan "wilayah privat dalam ranah etika dan wilayah perdata dalam ranah publik tidak berlaku dalam politik."
Menurut dia, yang terpenting dalam politik adalah legitimasi. "Legitimasi sosial dalam politik sangat penting. Kalau hanya sekedar mengikuti prosedural dalam pemunduran Aceng, maka akan memakan waktu lama," tuturnya.
Ia mengatakan, bila hak anggota dewan untuk menyatakan pendapat digunakan sesuai prosedur yang berlakku maka Aceng paling cepat bisa diturunkan dari jabatannya dalam 30 hari.
"Itu pun kalau Mahkamah Agung bisa cepat merespon, meskipun dalam undang-undang sudah ada batas waktu kapan sebuah kasus harus diproses," katanya.
Robert menambahkan, kasus pelanggaran etika pemimpin daerah di Garut itu hanya merupakan puncak gunung es dari permasalahan yang membelit kepala daerah.
Menurut dia, masih banyak pelanggaran yang dilakukan kepala daerah, mulai dari pemalsuan surat-surat, narkoba hingga korupsi.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan Bupati Garut Aceng HM Fikri berpeluang untuk diberhentikan dan realisasinya tergantung pada panitia khusus di DPRD Garut.
"Pansus di DPRD harus lengkap sebagai representasi simbolik dari keterwakilan rakyat. Pemberhentian bisa dilakukan melalui mekanisme hak menyatakan pendapat," katanya.
Hak menyatakan pendapat itu, kata dia, selanjutnya akan disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) yang kemudian akan mengadili dan memutuskan apakah benar ada pelanggaran sumpah jabatan atau tidak.
"Selanjutnya putusan MA itu akan dikembalikan kepada DPR untuk disidangkan, kemudian pemberhentian diusulkan kepada gubernur dan Presiden melalui Mendagri," katanya.
(D018)
"DPRD harus memundurkan Aceng dan memaksa dia untuk meminta maaf kepada publik atas pelanggaran moral yang dia lakukan," kata Robert saat berbicara dalam acara tayang bincang bertajuk "Bila Pejabat Publik Melanggar Hukum dan Etika" di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan "wilayah privat dalam ranah etika dan wilayah perdata dalam ranah publik tidak berlaku dalam politik."
Menurut dia, yang terpenting dalam politik adalah legitimasi. "Legitimasi sosial dalam politik sangat penting. Kalau hanya sekedar mengikuti prosedural dalam pemunduran Aceng, maka akan memakan waktu lama," tuturnya.
Ia mengatakan, bila hak anggota dewan untuk menyatakan pendapat digunakan sesuai prosedur yang berlakku maka Aceng paling cepat bisa diturunkan dari jabatannya dalam 30 hari.
"Itu pun kalau Mahkamah Agung bisa cepat merespon, meskipun dalam undang-undang sudah ada batas waktu kapan sebuah kasus harus diproses," katanya.
Robert menambahkan, kasus pelanggaran etika pemimpin daerah di Garut itu hanya merupakan puncak gunung es dari permasalahan yang membelit kepala daerah.
Menurut dia, masih banyak pelanggaran yang dilakukan kepala daerah, mulai dari pemalsuan surat-surat, narkoba hingga korupsi.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan Bupati Garut Aceng HM Fikri berpeluang untuk diberhentikan dan realisasinya tergantung pada panitia khusus di DPRD Garut.
"Pansus di DPRD harus lengkap sebagai representasi simbolik dari keterwakilan rakyat. Pemberhentian bisa dilakukan melalui mekanisme hak menyatakan pendapat," katanya.
Hak menyatakan pendapat itu, kata dia, selanjutnya akan disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) yang kemudian akan mengadili dan memutuskan apakah benar ada pelanggaran sumpah jabatan atau tidak.
"Selanjutnya putusan MA itu akan dikembalikan kepada DPR untuk disidangkan, kemudian pemberhentian diusulkan kepada gubernur dan Presiden melalui Mendagri," katanya.
(D018)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2012
Tags: