Jakarta (ANTARA) - Kepala Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando menyatakan tingkat literasi yang rendah atau penguasaan ilmu pengetahuan yang kurang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kemiskinan di suatu kelompok atau daerah.

“Penyebab kemiskinan struktural itu kan karena akses pengetahuan terbatas. Tidak punya skill,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi X DPR RI di Jakarta, Selasa.

Syarif menuturkan sebenarnya terdapat empat faktor penyebab terjadinya kemiskinan yaitu penguasaan ilmu pengetahuan yang kurang, skill dan inovasi yang terbatas, akses terhadap permodalan yang terbatas, serta adanya budaya malas.

Ia mengatakan tingkat literasi masyarakat Indonesia masih kurang yakni dapat dilihat dari masih belum meluasnya budaya membaca.

Padahal UNESCO, kata dia, memberi standar bahwa setidaknya satu orang membaca tiga buku baru dalam setahun. Sedangkan di Indonesia satu buku pun belum tentu terealisasi.

Ia mengatakan masyarakat di negara-negara di Asia Timur, Eropa Barat, dan Amerika, masih merasa kurang ketika mereka telah mampu membaca 15 sampai 20 buku baru per tahun.

Baca juga: Nadiem: Literasi rendah jadi masalah yang harus segera diatasi

Syarif menilai pendistribusian dan penyebaran buku dari pemerintah kepada masyarakat di Indonesia juga masih kurang sehingga menjadi faktor pendukung terjadinya tingkat literasi yang rendah.

Ia bercerita ketika melakukan perjalanan dinas ke Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, hingga ke Palu, Sulawesi Tengah, beberapa kali dirinya beserta pustakawan berkunjung ke dinas pendidikan setempat. Dari kunjungan itu diketahui bahwa tidak ada anggaran pemerintah daerah (pemda) untuk mencetak buku, bahkan terbatas untuk membeli buku.

“Jadi memang masyarakat di situ bertahun-tahun tidak ada akses pengetahuan baru (yang diberikan pemerintah setempat),” ujarnya.

Menurut Syarif, hal itu yang menyebabkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari 514 kabupaten/kota di Indonesia hanya Rp310,16 triliun dengan kebutuhan belanja mencapai Rp1.115 triliun.

“Apa yang salah? Literasi yang tidak produksi. Pembiayaan yang terlalu besar tidak berkorelasi dengan pendapatan besar. Ini yang harus dikoreksi,” katanya.

Baca juga: Pengamat: Literasi baca bukan hanya bersumber dari buku
Baca juga: Kemendikbud distribusikan 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu