Jakarta (ANTARA) - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA menjadi momentum berbenah membangun tata kelola keamanan industri sepak bola di Tanah Air.

Bambang dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, menyebut, pernyataan resmi FIFA mengenai pembatalan itu terkait dengan tragedi Kanjuruhan masuk akal.

"FIFA menilai bahwa infrastruktur industri boleh di Indonesia belum siap, terutama bidang keamanan," kata Bambang.

Menurut Bambang, kasus Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang belum tuntas menjadi sorotan internasional. Proses hukum tidak menyentuh siapa yang harus bertanggung jawab pada keselamatan dan keamanan penonton.

"Ini menjadi catatan problematika pengamanan industri sepak bola," ujarnya.

Selain itu, Bambang juga menyoroti penerbitan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelenggaraan Kompetisi Olahraga Sepak Bola dalam rangka untuk mewujudkan kompetisi yang aman, nyaman, tertib dan lancar, ternyata belum bisa meyakinkan otoritas industri sepak bola dunia terkait dengan faktor keamanan dan keselamatan kompetisi tersebut.

Baca juga: Presiden kecewa dan sedih atas batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia
Baca juga: Pakar: Efek gas air mata saat tragedi Kajuruhan perlu analisa mendalam


Bambang menuturkan bahwa kasus Kanjuruhan secara normatif sudah selesai di pengadilan yang memutuskan tidak ada yang salah terkait dengan hilangnya nyawa 135 penonton Arema.

Ia berpendapat bahwa tidak adanya aktor yang bertanggung jawab pada tragedi tersebut juga memunculkan asumsi tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban bila ada problem keamanan dalam pelaksanaan Piala Dunia U-20 bila tetap digelar di Indonesia.

"Apalagi, hal ini juga ditunggangi dengan isu politik dan identitas keagamaan yang meningkatkan faktor risiko ancaman keamanan," ujarnya.

Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 menimbulkan kekecewaan dan kesedihan bagi pencinta sepak bola, pemain, dan semua pihak. Namun, lanjut dia, kesedihan itu hendaknya tidak harus berlarut-larut.

Karena kesedihan batalnya Indonesia jadi tuan rumah, menurut dia, tidak sebanding dengan kesedihan para orang tua, saudara, dan anak dari 135 suporter yang meninggal di Stadion Kanjuruan.

"Tak sebanding pula dengan kekecewaan proses hukum yang tidak pernah menyeret pada siapa yang bertanggung jawab pada hilangnya nyawa korban," katanya.

Untuk itu, lanjut Bambang, hendaknya pembatalan ini menjadi momentum membangun tata kelola keamanan industri olahraga, khususnya sepak bola yang lebih profesional, yang terpisah dari campur tangan kepolisian, yang menjadi regulator sekaligus operator pengamanan industri olahraga selama ini.

Industri sepak bolah di Indonesia, kata dia, akan terus bergulir meski tidak menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.

"Sudah waktunya pengamanan industri diserahkan kepada penyedia jasa pengamanan industri pula," kata Bambang.