Jakarta (ANTARA) - Amerika Serikat dan China yang berebut hegemoni, “unjuk gigi” di Laut China Selatan (LCS). Selain kapal-kapalnya rutin berpatroli, mereka juga menempatkan pangkalan dan memupuk kekuatan militer di sekitarnya.

Seperti dikutip AP, China melaporkan, kapal perangnya telah mengusir kapal perusak Armada VII AL AS USS Milius saat memasuki perairan di sekitar Kepulauan Paracel di perairan LCS yang diklaim miliknya (23/3).

Sebaliknya, AS mengaku USS Milius saat itu sedang dalam misi sebatas pemantauan rutin di perairan internasional LCS dan tidak ada pengusiran, seperti diklaim pihak China.

Sebelumnya (18/2), AP juga melaporkan, kapal induk AS USS Nimitz dan kapal-kapal pengawalnya dibayang-bayangi oleh kapal induk China Shandong di LCS, dan sepekan kemudian pesawat pengintai AS P-8 Poseidon dicegat pesawat tempur Shenjang J-7 China.

Selain patroli kapal perang, China membangun pos-pos militer di pulau karang (atol) dan pulau buatan serta mengoperasikan kapal-kapal nelayan, jauh sampai ke wilayah ZEEI di Laut Natuna Utara yang diklaim sebagai wilayah perikanan tradisionalnya.

China mengklaim wilayah di sembilan garis putus-putus (nine dashline) mencakup 90 persen wilayah historis di kawasan LCS seluas dua juta Km2 yang tumpang tindih dengan klaim Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.

Di Kepulauan Spartly, LCS yang juga diklaim Vietnam, China membangun 20 pos militer dan di Kepulauan Paracel tujuh pos serta mengendalikan Beting Scarborough yang berjarak 200 Km dari lepas pantai Filipina.

Sebagian pos-pos militer tersebut dilengkapi dermaga, landas pacu, dan sistem pertahanan udara. Di Pulau Woody di Kepulauan Paracel digelar sistem rudal pertahanan udara HQ-9 berjangkauan 200 Km.

Filipina yang mencemaskan sepak terjang China di LCS, sesuai Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA) dengan AS, memberikan akses ke sembilan pangkalan militernya.

Melalui kesepakatan yang dicapai saat lawatan Menhan AS Lloyd Austin ke Manila (2/3), menurut AFP, Filipina akan memberikan akses baru di empat pangkalan di negeri itu, salah satunya menghadap LCS, menambah akses di lima pangkalan lainnya.

Di bawah presiden sebelumnya, Rodrigo Duterte yang lebih condong ke China, perjanjian EDCA yang diteken pada 2014 itu dihentikan, lalu dihidupkan kembali di era Presiden Ferdinand Marcos Jr.


Beli rudal anti kapal India

Tak hanya menyiapkan pangkalan dan fasilitas pendukung bagi pasukan AS di sembilan pangkalan, Filipina awal 2022 meneken kontrak pembelian rudal supersonik darat ke laut BrahMos buatan patungan India-Rusia senilai 374, 9 juta dollar AS (Rp5,3 triliun).

Sementara Australia, tetangga “halaman belakang” RI yang juga cemas atas sepak terjang China di LCS membetuk aliansi militer trilateral dengan Inggeris dan AS (AUKUS) pada 15 September 2021.

Guna memperkuat kemampuan militer Australia di kawasan Indo-Pasifik, Presiden AS Joe Biden, PM Inggeris Rishi Sunak dan PM Australia Anthonie Albanese menyepakati pembuatan kapal selam nuklir untuk Negeri Kangguru itu (13/3).

Sampai awal 2030, Australia akan mendapat tiga sampai lima kapal selam berpropulsi nuklir kelas Virginia buatan AS dan membangun kapal selam nuklir SSN-AUKUS (dengan teknologi Inggris dan AS) yang akan dioperasikan Australia pada awal 2040-an.

Indonesia tentu saja terusik atas rencana pembangunan kapal selam nuklir Australia tersebut karena hal itu berpotensi meningkatkan ketegangan di kawasan Indo-Pasifik.

Untuk itu, Pemerintah RI mengingatkan Australia yang bukan pemilik senjata nuklir (non-nuclear weapon state – NNWS) agar konsisten dengan komitmennya, tidak mengembangkan senjata pemusnah massal itu.

Australia juga diminta menyepakati mekanisme verifikasi oleh Badan Pengawas Energi Atom Internasional (IAEA) yang dilakukan secara efektif, transparan dan tidak tebang pilih atau diskriminatif.

Sementara Presiden AS Joe Biden, demi meredam kecemasan pihak lain, menjamin kapal-kapal selam yang akan dioperasikan Australia sebagai NNWS, tidak akan dipersenjatai hulu ledak nuklir.

Namun tidak hanya China yang geram atas kehadiran AUKUS yang ditujukan untuk mengimbangi kekuatannya di Indo Pasifik, Selandia Baru yang notabene adalah mitra terdekat Australia, AS dan Inggris juga terusik.

“AS, Australia dan Inggris adalah mitra keamanan terdepan Selandia Baru, namun kebijakan bebas nuklir kami tidak berubah, “ ujar PM Selandia Baru Christ Hipkins. Ia pun tak main-main, tetap melarang kapal selam nuklir melintasi wilayahnya.

Sementara Singapura, sejak puluhan tahun sudah menjadi pangkalan logistik pasukan AS di kawasan Indo-Pasifik, bahkan pemerintahnya mengakui, AS juga menempatkan drone pengintai RQ-4 Global Hawk.

Negeri pulau itu dilaporkan juga sedang memesan satu skadron (12) pesawat tempur siluman multi-peran generasi kelima F-35 Super Lightning II guna menunjang operasi gabungan AS dan Singapura.

Kehadiran F-35 bakal mengubah perimbangan militer di kawasan ASEAN, mengingat anggota lain, seperti RI dan Vietnam, masih mengoperasikan pesawat generasi ke 4.0, seperti Sukhoi SU-30, atau Malaysia dengan MiG-29 (semua eks-Rusia).

Merespons penumpukan kekuatan asing di LCS, RI yang cinta damai tentu juga harus memperkuat militernya walau investasi untuk itu menguras anggaran karena sarat teknologi canggih. "Si Vis Pacem Para Bellum" (Siapa yang Ingin Damai Harus siap Perang”.

*) Nanang Sunarto adalah mantan Wakil Pemimpin Pelaksana Redaksi Kantor Berita ANTARA

*) Pandangan dan pendapat yang dikemukakan pada artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA