Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menekankan urgensi mandatory spending dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) terutama di bidang kesehatan serta pendidikan.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam kegiatan Koordinasi Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2022.

Kegiatan tersebut dalam rangka peningkatan kualitas pelaporan keuangan pemerintah di Lingkungan Auditorat Keuangan Negara (AKN) VI di Kantor Pusat BPK, Jakarta, Rabu.

“Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang diatur oleh Undang-Undang, bertujuan mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Pada tahun 2022, untuk bidang pendidikan, pemerintah telah mengalokasikan sebesar Rp542,83 Triliun atau 20 persen dari total APBN yang berjumlah Rp2.714,1 triliun,” ungkap Anggota VI BPK Pius Lustrilanang dalam keterangan resmi.

Untuk belanja pemerintah pusat di bidang kesehatan, antara lain disalurkan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebesar Rp96,85 triliun.

Lalu, Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran (SP SABA) dari Kementerian Keuangan kepada Kemenkes sebesar Rp44,14 Triliun, serta DIPA Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebesar Rp2,24 Triliun.

Dengan besarnya alokasi mandatory spending bidang pendidikan dan kesehatan, BPK perlu memastikan apakah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kemenkes, BPOM, dan pemerintah daerah telah melakukan pengelolaan dana tersebut secara akuntabel, transparan, serta sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan.

“Selain itu, pemerintah sebaiknya memiliki instrumen monitoring dan evaluasi yang akurat guna mengidentifikasi capaian kinerja atau kemanfaatan program dan kegiatan terhadap masyarakat luas,” ucap Pius.

Lebih lanjut, dia menyatakan para pimpinan kementerian/lembaga dan kepala daerah di lingkungan AKN VI agar selalu berkomitmen mengelola keuangan daerah secara akuntabel dan transparan.

Mereka diminta pula berkomitmen dalam menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan BPK, meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola keuangan, menerapkan teknologi informasi dalam mengelola dan menyusun LKKL/LKPD.

Serta mengelola mandatory spending secara akuntabel dan transparan, serta menyampaikan capaian kinerjanya dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Tahun 2022.

Selanjutnya, Pius juga menyampaikan bahwa ada perkembangan yang menggembirakan dalam pencapaian opini LKKL dan LKPD selama tiga tahun terakhir.

Misalnya, laporan Keuangan Kemenkes, Kemdikbudristek dan BPOM dalam tiga tahun terakhir telah mencapai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Untuk LKPD, terdapat 233 LKPD yang telah mencapai opini WTP pada tahun 2021. Jumlah ini meningkat dari 222 LKPD pada tahun 2020 dan 223 LKPD pada tahun 2019.

“Kenaikan jumlah Opini WTP menunjukkan upaya yang luar biasa dari pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan transparan. Raihan opini WTP atas LKKL dan LKPD tersebut hendaknya tetap dapat dipertahankan dan ditingkatkan secara berkelanjutan,” katanya.

Selain memberikan opini atas laporan keuangan, BPK juga memberikan rekomendasi dalam rangka perbaikan atas kelemahan sistem pengendalian internal dan penyelesaian permasalahan ketidakpatuhan atas pengelolaan keuangan negara.

“Kepala Auditorat dan Kepala Perwakilan BPK di lingkungan AKN VI untuk menerapkan strategi dan kebijakan pemeriksaan agar menghasilkan pemeriksaan yang berkualitas dengan menjunjung tinggi penerapan independensi, integritas dan profesionalisme,” ujar Pius.