Tanjungpinang (ANTARA) - Hampir setiap hari aroma konflik antara Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad dengan Wakil Gubernur Marlin Agustina, yang menyeret Wali Kota Batam Muhammad Rudi, tersiar di sejumlah media sosial dan media siber.

Gubernur Ansar setidaknya dua kali menyuarakan kekecewaannya terhadap kinerja Wakil Gubernur Marlin. Beberapa waktu lalu, ia juga masygul karena berbagai kegiatan pemerintahan di Batam tidak dihadiri oleh jajaran Pemkot Batam.

Sebaliknya, Wakil Gubernur Marlin, yang merupakan istri dari Wali Kota Rudi, juga kecewa terhadap Gubernur Ansar. Awalnya, Marlin dan Rudi kesal karena Ansar tidak merealisasikan komitmen yang dibangun saat Pilkada Kepri 2020 yakni menempatkan Sekda Batam Jefriden sebagai Sekda Kepri. Hasil open bidding, ternyata Adi Prihantara, mantan Sekda Bintan, berhasil menjabat sebagai Sekda Kepri.

Terakhir, Marlin mengungkapkan kegusarannya lantaran merasa dijegal untuk melaksanakan berbagai kegiatan di sejumlah SMA di Batam.

Marlin juga jarang ke ruang kerjanya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu melaksanakan berbagai kegiatan di Batam. Hampir seluruh kegiatannya dipublikasi di sejumlah media sosial, misalkan, Tik Tok dan Instagram.

Marlin kemungkinan tidak mencalonkan diri sebagai gubernur maupun wakil gubernur, tetapi menjadi Wali Kota Batam atau DPR RI melalui Partai NasDem. Sementara, Rudi, yang sudah dua periode menjabat sebagai Wali Kota Batam, digadang-gadang akan menjadi rival politik Ansar pada Pilkada Kepri 2024.

Rentetan isu politik pun bermunculan ketika Ansar memastikan dirinya mencalonkan diri kembali sebagai Gubernur Kepri dengan menggunakan Partai Golkar sebagai kendaraan politiknya.

Bagaimana dengan Wakil Wali Kota Batam Amsakar, yang sudah dua periode mendampingi Rudi? Isu konflik antara Rudi dengan Amsakar pun bertebaran di jagat maya seiring dengan adanya informasi bahwa Marlin mencalonkan diri sebagai Wali Kota Batam pada pilkada tahun 2024. Berbagai spekulasi politik pun bermunculan terkait permasalahan itu, padahal faktanya hubungan antara Rudi dan Marlin dengan Amsakar cukup harmonis.


Menyekat Demokrasi

Konflik politik tidak hanya mengusik pemerintahan dan bernilai negatif di tengah masyarakat, tetapi juga menghalangi proses demokrasi dalam pilkada.

Perseteruan politik yang terjadi setelah Pilkada Kepri tahun 2020 nyaris menyekat para politikus berbakat lainnya untuk mengambil bagian dalam pesta demokrasi berikutnya karena kalah populer. Secara politik, konflik yang disebarluaskan menguntungkan bagi para politikus yang terlibat di dalamnya karena setiap saat menjadi perbincangan publik.

Para politikus berbakat lainnya, yang duduk di kursi legislatif maupun memimpin di kabupaten dan kota di Kepri, sepertinya tidak mendapatkan ruang untuk populer akibat publikasi konflik politik yang terjadi antara Ansar dengan Rudi dan Marlin sebelum Pilkada Kepri 2024. Mereka jarang terpublikasi di media sosial akibat isu konflik politik itu lebih seksi dibanding pendapat soal lainnya.

Lama kelamaan, politik dikotomi itu menghalangi para politikus lainnya masuk ke arena Pilkada Kepri 2024. Sadar atau tidak sadar, popularitas Ansar, Rudi, dan Marlin makin meningkat seiring seringnya mereka dibicarakan publik.

Padahal di Kepri cukup banyak politikus berbakat, misalkan, mantan Gubernur Kepri Isdianto, mantan anggota DPRD Kepri tiga periode Suryani, anggota DPR RI Asman Abnur, Bupati Lingga Muhammad Nizar, Anggota DPD RI Dharma Setiawan, Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, Ketua DPRD Kepri Jumaga Nadeak, Wakil Ketua DPRD Kepri Rizky Faisal, Wakil Ketua DPRD Kepri Ketua Fraksi PDIP DPRD Kepri Lis Darmansyah, mantan Wakil Ketua DPRD Kepri Iskandarsyah, tokoh sentral pejuang pembentukan Kepri Huzrin Hood, dan mantan Wakil Gubernur Kepri Soerya Respationo.

Konflik politik yang terpelihara mengganggu penyelenggaraan demokrasi dalam pilkada. Demokrasi memberi hak yang luas bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam pilkada berdasarkan syarat yang diatur dalam perundangan.

Untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang diusung partai politik, faktor penentu adalah popularitas dan elektabilitas berdasarkan hasil survei. Popularitas menjadi bagian terpenting bagi para politisi apakah akan bertarung dalam pilkada atau tidak. Orang-orang yang populer akan lebih mudah mendapatkan perhatian publik untuk dipilih sebagai kepala daerah.

Apabila konflik politik antara Ansar dengan Rudi dan Marlin tidak surut hingga Pilkada Kepri 27 November 2024, bisa jadi kandidat kuat yang potensial muncul hanya Ansar dan Rudi. Hanya dua nama inilah yang menggembol popularitas tinggi, hasil dari publikasi intens atas konflik kedua di media sosial dan daring. Popularitas merupakan modal penting untuk meraih elektabilitas atau keterpilihan.


Damai

Masyarakat mengharapkan Pemerintahan Kepri berjalan optimal tanpa konflik kepala daerah. Konflik itu terbentuk hanya karena perbedaan kepentingan politik di pemerintahan.

Konflik kepala daerah menyebabkan program pembangunan menjadi terhambat dan ASN tidak kompak. Di luar pemerintahan, konflik politik antara Ansar dengan Rudi dan Marlin menyebabkan gesekan antara dua kelompok pendukung.

Semestinya, kepala daerah mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dalam melaksanakan tugas, sesuai sumpah jabatan dan amanah yang diberikan konstitusi. Kepala daerah merupakan orang-orang yang dipilih dan diamanahkan rakyat untuk memimpin pemerintahan secara optimal, bukan untuk berkonflik.

Berbagai pihak meragukan konflik antara Ansar dengan Rudi dan Marlin akan berlangsung lama karena politik selalu cair dan menemukan jalan tengah. Karena itu, banyak pula yang mengatakan Rudi bakal mendampingi Ansar pada Pilkada Kepri 2024.

Jika itu terjadi, maka figur lain memiliki kesempatan yang tidak terlalu lama untuk berpikir dan memutuskan apakah berani dan mampu melawan kandidat petahana tersebut. Keputusan politik tersebut tentu berdasarkan pertimbangan dan hasil analisis lembaga survei.

Politikus berbakat di Kepri yang memiliki keinginan untuk bertarung pada Pilkada Kepri 2024 seharusnya memanfaatkan media sosial dan media siber agar dikenal publik dan cepat populer.

Sayangnya, hingga sekarang hanya sedikit dari puluhan politikus berbakat yang memanfaatkan media sosial dan media massa secara optimal.

Atau, jangan-jangan mereka memang tidak cukup nyali bertarung dengan Ansar dan Rudi dalam pilkada mendatang.