Semarang (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi melalui kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk menangkap maksud frasa "dalam persidangan yang berikut".

Belakangan ini muncul sejumlah penafsiran terhadap Pasal 22 UUD NRI, khususnya ayat (2) yang menyebutkan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan yang berikut.

Setidaknya ada dua penafsiran terkait dengan frasa "dalam persidangan yang berikut". Pertama, dimaknai satu masa sidang setelah Surat Presiden (Surpres) perihal RUU tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Perpu Pemilu) diterima DPR RI.

Sebelumnya, DPR RI menerima Surpres perihal RUU tentang Penetapan Perpu Pemilu menjadi Undang-Undang pada tanggal 13 Januari 2023, atau beberapa hari sebelum penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2022—2023.

Pendapat yang lain mengacu pada Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 dan Penjelasan Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Frasa "dalam persidangan yang berikut" adalah masa sidang pertama DPR RI setelah perpu ditetapkan.

Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perpu Pemilu diundangkan pada tanggal 12 Desember 2022. Namun, karena belum disetujui DPR lewat paripurna hingga penutupan Masa Sidang III Tahun 2022—2023 pada tanggal 16 Februari 2022, sempat menjadi polemik.

Selang sehari, lembaga legislatif menggelar Rapat Paripurna Ke-18 DPR RI Pembukaan Masa Sidang IV Tahun 2022—2023, pada tanggal 15 Maret 2023 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyerahkan RUU tentang Penetapan Perpu Pemilu menjadi Undang-Undang ke Komisi II DPR RI.

Aturan main pembahasan RUU Penetapan Perpu Pemilu, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 71 UU No. 12 Tahun 2011, melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang.

Khusus pembahasan RUU tentang Pencabutan Perpu, dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan RUU.

Dalam pasal ini juga mengatur tata cara sebagai berikut: pertama, RUU tentang Pencabutan Perpu diajukan oleh DPR atau Presiden; kedua, RUU tentang Pencabutan Perpu diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas perpu yang diajukan oleh Presiden.

Ketiga, pengambilan keputusan persetujuan terhadap RUU tentang Pencabutan Perpu dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas perpu tersebut.

Terkait dengan penafsiran yang berbeda terhadap Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945, tentunya membuka peluang masyarakat mengajukan permohonan uji formal UU Perpu Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Apakah melampaui Masa Sidang III Tahun Sidang 2022—2023 sudah melebihi batas waktu, atau pembahasan RUU Penetapan Perpu Pemilu pada masa sidang berikutnya sudah sesuai dengan konstitusi? Itu semua bergantung pada putusan hakim konstitusi jika ada permohonan uji formal ke MK. Lembaga pengawal dan penafsir konstitusi inilah yang menentukan soal tafsiran "dalam persidangan yang berikut".

Andai kelak ada pihak tertentu yang mengajukan permohonan uji materi UU Penetapan Perpu Pemilu terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke MK, setidaknya publik akan mengetahui tafsiran "dalam persidangan yang berikut" menurut hakim konstitusi melalui putusannya.

Harapan lain, putusan Mahkamah Konstitusi itu akan lebih gamblang mengenai masa keberlakuan perpu. Secara implisit masa berlaku perpu tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3).

Ditegaskan dalam ayat (2) bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut (ayat 3).


Uji materi

Dalam pembahasan RUU Penetapan Perpu Pemilu menjadi Undang-Undang, Pemerintah dan DPR RI perlu memperhatikan materi muatan undang-undang agar menutup celah pihak lain untuk mengajukan permohonan uji materi UU tersebut terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke MK.

Ambil contoh pada angka 5 dalam Perpu Pemilu terkait dengan ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 179 diubah dan setelah ayat (4) ditambah satu ayat, yakni ayat (5), sehingga Pasal 179 berbunyi sebagai berikut:

(1) Partai politik calon peserta pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta pemilu oleh KPU.
(2) Penetapan partai politik sebagai peserta pemilu dilakukan dalam sidang pleno KPU paling lambat 14 (empat belas) bulan sebelum hari pemungutan suara.
(3) Partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk pemilu anggota DPR pada tahun 2019 dan telah ditetapkan sebagai peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan nomor urut partai politik peserta pemilu yang sama pada pemilu tahun 2019, atau mengikuti penetapan nomor urut partai politik peserta pemilu yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil partai politik peserta pemilu.
(4) Ketentuan mengenai penetapan nomor urut partai politik lokal Aceh sebagai peserta pemilu yang dilakukan secara undi diatur dengan peraturan KPU.
(5) KPU menetapkan dan mengumumkan nomor urut partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Apabila DPR menyetujui RUU Penetapan Perpu Pemilu menjadi Undang-Undang dengan tetap mempertahankan frasa "dapat menggunakan nomor urut partai politik peserta pemilu yang sama pada pemilu tahun 2019", hal ini berpeluang menimbulkan polemik di kemudian hari.

Pembentuk undang-undang sebaiknya mengubah frasa tersebut tanpa menyebutkan "tahun 2019", atau "dapat menggunakan nomor urut partai politik peserta pemilu yang sama pada pemilu sebelumnya".

Hal ini mengingat apabila DPR RI menyetujui RUU tentang Penetapan Perpu Pemilu menjadi Undang-Undang, norma pengaturannya akan berlaku seterusnya. Sejumlah parpol kemungkinan besar tetap menggunakan lagi nomor urut pada Pemilu 2019.

Tidaklah salah ada pendapat bahwa tidak ada satu pun produk peraturan perundang-undangan yang mampu memuaskan seluruh komponen bangsa ini. Kendati demikian, pembentuk undang-undang sebaiknya mempertimbangkan secara matang pasal-pasal yang bakal menimbulkan perdebatan di ruang publik.

Lebih bagus lagi, tidak ada yang mengajukan permohonan uji formal atau uji materi ke MK setelah undang-undang tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, undang-undang itu tidak mengalami bongkar pasang di tengah jalan, kecuali muatannya tidak relevan lagi dengan kekinian.