Seoul (ANTARA) - Korea Selatan telah mensponsori draf resolusi PBB tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara untuk pertama kalinya dalam lima tahun, kata seorang sumber diplomatik pada Kamis.

Menurut sumber tersebut, Korsel ikut menjadi salah satu sponsor draf resolusi itu, yang akan diadopsi pada sidang reguler ke-52 Dewan HAM PBB (UNHRC) yang berlangsung dari 27 Februari hingga 4 April.

Perancangan resolusi yang dipimpin Swedia dan Uni Eropa itu mendesak Korut untuk memastikan kebebasan berbicara, baik secara daring dan luring, dan mengizinkan pendirian media independen.

Draft tersebut juga mendesak Korut untuk mempertimbangkan kembali undang-undang pemblokiran konten budaya dari luar negara yang tertutup itu.

Pada 2010, Korut mengadopsi undang-undang baru untuk "menolak ideologi dan budaya reaksioner". UU itu melarang warga menyebarkan atau melihat media yang berasal dari Korsel, AS dan negara-negara lain.

Diserahkan ke dewan pada Selasa (waktu Jenewa), draf resolusi tersebut juga menyerukan kepada Korut untuk mengungkap semua informasi yang relevan, termasuk tentang orang asing yang ditangkap atau diculik di negara itu, kepada keluarga korban.

Seruan itu tampaknya mencerminkan tuntutan Korsel pada Korut untuk mengklarifikasi kematian seorang pejabat perikanan Korsel yang ditembak mati penjaga pantai Korut di dekat perbatasan kedua negara di Laut Kuning pada 2020, kata sejumlah pengamat.

UNHRC telah mengadopsi resolusi yang mengutuk pelanggaran HAM Korut setiap tahun sejak 2003.

Namun, Korsel tidak mensponsori resolusi PBB itu dari 2019 sampai 2022 selama pemerintahan Moon Jae-in, yang tampaknya berusaha menghindari ketegangan dengan Korut dan melanjutkan dialog antar-Korea.

Namun, pada akhir 2022, Korsel turut mensponsori resolusi Majelis Umum PBB tentang HAM Korut pertama kalinya dalam empat tahun, setelah Presiden Yoon Suk Yeol mulai menjabat pada Mei.

Sumber: Yonhap-OANA

Baca juga: DPR AS adopsi resolusi kecam sosialisme dan diktator Korut
Baca juga: Gedung Putih: Korut beri amunisi untuk Rusia, langgar resolusi DK PBB