Perpusnas sebut 15 juta buku digital solusi ketimpangan jumlah buku
20 Maret 2023 18:21 WIB
Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando saat memberi keterangan. Bandarlampung, Senin (20/3/2023). ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.
Bandarlampung (ANTARA) - Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando mengatakan bahwa peluncuran 15 juta buku digital yang diakses secara gratis bagi masyarakat menjadi solusi atas adanya ketimpangan jumlah buku.
"Permasalahan kita beberapa tahun terakhir adalah kurangnya jumlah buku. Jadi satu buku ini bisa di tunggu 90 orang dari Sabang sampai Merauke," ujar Muhammad Syarif Bando saat menghadiri Festival Literasi, di Bandarlampung, Senin.
Ia menjelaskan jumlah itu tidaklah sesuai dengan standar UNESCO yang mewajibkan adanya minimal tiga buku baru setiap orang setiap tahunnya, bahkan ada negara yang mampu memiliki 15 buku setiap tahunnya.
"Oleh karena itu tadi telah diluncurkan 15 juta buku digital dan 2 juta konten kreator yang bisa diakses secara cuma-cuma untuk masyarakat," katanya.
Dia melanjutkan 15 juta buku digital tersebut dibagikan, untuk mengatasi adanya keterbatasan cetak sekaligus memperluas akses jaringan bagi masyarakat, yang memiliki keterbatasan waktu untuk datang ke perpustakaan.
Baca juga: Media digital versus buku teks
Baca juga: Kemenparekraf dan Perpustakaan Nasional luncurkan e-Library
"Ini bisa diakses dari mana saja selama ada jaringan internet dan gawai. Beberapa waktu ini kami sudah melakukan digitalisasi 1,3 juta buku pelajaran, 12 juta jurnal internasional, dan 1,5 juta buku dalam negeri. Kalau mau membaca tinggal dibuka dari gawai saja," ucapnya.
Menurut dia memang ada sejumlah persoalan dalam pengadaan buku secara fisik. Seperti ekosistem perbukuan yang harus melalui siklus panjang yakni dari penulis, penerbit, hingga penganggaran buku dari dana APBN atau APBD. Dan kurangnya kemauan untuk menggali isi buku secara mendalam.
"Sudah sistemnya panjang, kadang ada yang diberi banyak buku fisik tapi tidak ada kemauan untuk menggali isi buku. Saat ini perpustakaan ini masuk dalam penilaian desa modern, jadi dengan adanya buku digital semua bisa akses informasi, pengetahuan dengan mudah, cepat, serta tidak terkendala ruang dan waktu," tambahnya.
Tanggapan positif atas adanya buku digital dikatakan oleh salah seorang mahasiswi asal Bandarlampung, Melisa.
"Buku digital atau yang awam dikenal E-Book memang lebih digemari oleh kami yang menempuh pendidikan tinggi. Sebab lebih mudah dan cepat," kata Melisa.
Ia mengatakan dengan adanya buku digital juga akan lebih mudah dalam melakukan pengutipan.
"Kami biasanya untuk pengutipan melalui aplikasi jadi dengan buku digital lebih mudah saat mau membuat footnote atau bodynote di karya ilmiah," ucap dia lagi.
Baca juga: Kemendikbud kembangkan konsep perpustakaan digital yang canggih
Baca juga: Kominfo luncurkan perpustakaan digital "Ruang Buku" untuk masyarakat
"Permasalahan kita beberapa tahun terakhir adalah kurangnya jumlah buku. Jadi satu buku ini bisa di tunggu 90 orang dari Sabang sampai Merauke," ujar Muhammad Syarif Bando saat menghadiri Festival Literasi, di Bandarlampung, Senin.
Ia menjelaskan jumlah itu tidaklah sesuai dengan standar UNESCO yang mewajibkan adanya minimal tiga buku baru setiap orang setiap tahunnya, bahkan ada negara yang mampu memiliki 15 buku setiap tahunnya.
"Oleh karena itu tadi telah diluncurkan 15 juta buku digital dan 2 juta konten kreator yang bisa diakses secara cuma-cuma untuk masyarakat," katanya.
Dia melanjutkan 15 juta buku digital tersebut dibagikan, untuk mengatasi adanya keterbatasan cetak sekaligus memperluas akses jaringan bagi masyarakat, yang memiliki keterbatasan waktu untuk datang ke perpustakaan.
Baca juga: Media digital versus buku teks
Baca juga: Kemenparekraf dan Perpustakaan Nasional luncurkan e-Library
"Ini bisa diakses dari mana saja selama ada jaringan internet dan gawai. Beberapa waktu ini kami sudah melakukan digitalisasi 1,3 juta buku pelajaran, 12 juta jurnal internasional, dan 1,5 juta buku dalam negeri. Kalau mau membaca tinggal dibuka dari gawai saja," ucapnya.
Menurut dia memang ada sejumlah persoalan dalam pengadaan buku secara fisik. Seperti ekosistem perbukuan yang harus melalui siklus panjang yakni dari penulis, penerbit, hingga penganggaran buku dari dana APBN atau APBD. Dan kurangnya kemauan untuk menggali isi buku secara mendalam.
"Sudah sistemnya panjang, kadang ada yang diberi banyak buku fisik tapi tidak ada kemauan untuk menggali isi buku. Saat ini perpustakaan ini masuk dalam penilaian desa modern, jadi dengan adanya buku digital semua bisa akses informasi, pengetahuan dengan mudah, cepat, serta tidak terkendala ruang dan waktu," tambahnya.
Tanggapan positif atas adanya buku digital dikatakan oleh salah seorang mahasiswi asal Bandarlampung, Melisa.
"Buku digital atau yang awam dikenal E-Book memang lebih digemari oleh kami yang menempuh pendidikan tinggi. Sebab lebih mudah dan cepat," kata Melisa.
Ia mengatakan dengan adanya buku digital juga akan lebih mudah dalam melakukan pengutipan.
"Kami biasanya untuk pengutipan melalui aplikasi jadi dengan buku digital lebih mudah saat mau membuat footnote atau bodynote di karya ilmiah," ucap dia lagi.
Baca juga: Kemendikbud kembangkan konsep perpustakaan digital yang canggih
Baca juga: Kominfo luncurkan perpustakaan digital "Ruang Buku" untuk masyarakat
Pewarta: Ruth Intan Sozometa Kanafi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023
Tags: