Inggris perkuat perjanjian deportasi migran ilegal dengan Rwanda
19 Maret 2023 14:19 WIB
Arsip Foto - Pengungsi Suriah mencium putrinya saat berjalan di tengah badai hujan menuju perbatasan Yunani-Makedonia, dekat desa Idomeni, Yunani, Kamis (10/9//2015). ANTARA/REUTERS/Yannis Behrakis/am.
Kigali (ANTARA) - Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman melawat Rwanda pada Sabtu (18/3) untuk memperkuat kesepakatan terkait rencana Rwanda yang akan menerima deportasi migran yang datang ke Inggris secara ilegal.
Pemerintah Inggris berencana merelokasi ribuan migran ilegal di negaranya ke Rwanda, dan sebuah perjanjian senilai 120 juta poundsterling (Rp2,2 triliun) terkait hal tersebut telah disepakati tahun lalu.
Kebijakan deportasi tersebut belum dilakukan karena penolaknya menggugat legalitas kebijakan itu di pengadilan.
Badan-badan amal juga menyatakan kebijakan tersebut mahal dan merepotkan, serta berpotensi mengkriminalisasi ribuan pengungsi yang kesulitan mengajukan suaka ke Inggris tanpa tiba di negara itu dulu.
Lebih dari 45 ribu migran menyeberang ke Inggris melalui Selat Inggris dengan perahu-perahu kecil dari Prancis. Sebagian besar migran tersebut, menurut data pemerintah Inggris, berasal dari Albania, Afghanistan, Iran, dan Irak.
Dalam lawatannya, Braverman bertemu Menteri Luar Negeri Rwanda Vincent Biruta.
Kepada wartawan di Kigali, Braverman menyatakan bantuan tambahan akan diberikan kepada migran yang direlokasi ke Rwanda.
"Banyak negara di dunia sedang menghadapi jumlah migran ilegal yang sedang tinggi-tingginya, dan saya amat yakin kemitraan terdepan ini ... adalah manusiawi dan berbelas kasih serta adil dan seimbang," kata Braverman dalam konferensi persnya bersama Biruta.
Pada pernyataannya di hari yang sama, Kementerian Dalam Negeri Inggris menyebut Rwanda telah setuju menerima semua golongan migran yang melewati negara aman dan melakukan penyeberangan ilegal dan berbahaya ke Inggris.
"Siapapun yang datang ke Inggris secara ilegal -- yang tidak dapat kembali ke negara asalnya -- mereka yang akan direlokasi ke Rwanda," kata kementerian tersebut.
Walaupun perjanjian deportasi tersebut telah disetujui Inggris dan Rwanda pada April 2022, penerbangan deportasi perdananya dibatalkan atas perintah Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa.
Walaupun Pengadilan Tinggi London kemudian memutuskan kebijakan tersebut tidak melanggar hukum, penentangnya berusaha mengajukan banding pada April, dan gugatan tersebut kemungkinan akan diteruskan ke Mahkamah Agung Inggris kemudian.
"Saya tidak akan mendahului keputusan pengadilan, tapi jika kami berhasil, kami akan melaksanakan isi perjanjian tersebut sesegera mungkin," kata Braverman.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak sebelumnya mengatakan masalah migran ilegal akan menjadi salah satu prioritasnya di tahun 2023.
Selain itu, Inggris telah mengeluarkan dua miliar poundsterling (Rp37,4 triliun) per tahunnya untuk mengakomodasi para migran dan telah menawarkan sebuah kontrak senilai 95 juta dolar AS (Rp1,4 triliun) untuk merelokasi migran ke negara-negara lain, seperti Rwanda.
Sumber: Reuters
Baca juga: PM Sunak: pendatang ilegal di Inggris tidak akan diizinkan tinggal
Baca juga: Italia tuduh Grup Wagner di balik melonjaknya penyeberangan migran
Pemerintah Inggris berencana merelokasi ribuan migran ilegal di negaranya ke Rwanda, dan sebuah perjanjian senilai 120 juta poundsterling (Rp2,2 triliun) terkait hal tersebut telah disepakati tahun lalu.
Kebijakan deportasi tersebut belum dilakukan karena penolaknya menggugat legalitas kebijakan itu di pengadilan.
Badan-badan amal juga menyatakan kebijakan tersebut mahal dan merepotkan, serta berpotensi mengkriminalisasi ribuan pengungsi yang kesulitan mengajukan suaka ke Inggris tanpa tiba di negara itu dulu.
Lebih dari 45 ribu migran menyeberang ke Inggris melalui Selat Inggris dengan perahu-perahu kecil dari Prancis. Sebagian besar migran tersebut, menurut data pemerintah Inggris, berasal dari Albania, Afghanistan, Iran, dan Irak.
Dalam lawatannya, Braverman bertemu Menteri Luar Negeri Rwanda Vincent Biruta.
Kepada wartawan di Kigali, Braverman menyatakan bantuan tambahan akan diberikan kepada migran yang direlokasi ke Rwanda.
"Banyak negara di dunia sedang menghadapi jumlah migran ilegal yang sedang tinggi-tingginya, dan saya amat yakin kemitraan terdepan ini ... adalah manusiawi dan berbelas kasih serta adil dan seimbang," kata Braverman dalam konferensi persnya bersama Biruta.
Pada pernyataannya di hari yang sama, Kementerian Dalam Negeri Inggris menyebut Rwanda telah setuju menerima semua golongan migran yang melewati negara aman dan melakukan penyeberangan ilegal dan berbahaya ke Inggris.
"Siapapun yang datang ke Inggris secara ilegal -- yang tidak dapat kembali ke negara asalnya -- mereka yang akan direlokasi ke Rwanda," kata kementerian tersebut.
Walaupun perjanjian deportasi tersebut telah disetujui Inggris dan Rwanda pada April 2022, penerbangan deportasi perdananya dibatalkan atas perintah Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa.
Walaupun Pengadilan Tinggi London kemudian memutuskan kebijakan tersebut tidak melanggar hukum, penentangnya berusaha mengajukan banding pada April, dan gugatan tersebut kemungkinan akan diteruskan ke Mahkamah Agung Inggris kemudian.
"Saya tidak akan mendahului keputusan pengadilan, tapi jika kami berhasil, kami akan melaksanakan isi perjanjian tersebut sesegera mungkin," kata Braverman.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak sebelumnya mengatakan masalah migran ilegal akan menjadi salah satu prioritasnya di tahun 2023.
Selain itu, Inggris telah mengeluarkan dua miliar poundsterling (Rp37,4 triliun) per tahunnya untuk mengakomodasi para migran dan telah menawarkan sebuah kontrak senilai 95 juta dolar AS (Rp1,4 triliun) untuk merelokasi migran ke negara-negara lain, seperti Rwanda.
Sumber: Reuters
Baca juga: PM Sunak: pendatang ilegal di Inggris tidak akan diizinkan tinggal
Baca juga: Italia tuduh Grup Wagner di balik melonjaknya penyeberangan migran
Penerjemah: Nabil Ihsan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023
Tags: