Jakarta (ANTARA) - NAIROBI, 16 Maret (Xinhua) -- Keadaan darurat iklim, termasuk kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan, yang meningkat di kawasan Tanduk Afrika memaksa warga sipil untuk bermigrasi, kata Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sebuah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Rabu (15/3).

Lebih dari dua juta orang di Djibouti, Ethiopia, dan Somalia mengungsi secara internal di tengah musim kemarau yang berkepanjangan, kata IOM dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Nairobi, ibu kota Kenya, mengutip statistik dari sejumlah badan kemanusiaan.

Wakil Direktur Regional IOM untuk Afrika Timur dan Tanduk Afrika Justin McDermott mengatakan bahwa mengatasi krisis iklim akan membantu upaya menstabilkan mobilitas manusia, perdamaian, dan pertumbuhan hijau.
Menurut McDermott, respons lintas perbatasan sangat penting untuk menghentikan peningkatan krisis migrasi paksa dan ketegangan etnis yang dipicu oleh berbagai bencana akibat iklim, seperti kekeringan di kawasan tersebut


Lebih dari 20 juta orang bergulat dengan kerawanan pangan akut di Ethiopia, Kenya, dan Somalia di tengah kekeringan terburuk yang melanda kawasan Tanduk Afrika dalam empat dekade terakhir, menurut sejumlah badan bantuan.

McDermott menyerukan koherensi kebijakan dan implementasi cepat dari intervensi lokal, nasional, maupun regional untuk mengatasi keadaan darurat iklim dan berbagai dampaknya, termasuk mobilitas paksa.

Dia mengatakan bahwa lokakarya dua hari yang digelar oleh IOM dan para mitra di Nairobi pada Rabu itu akan mengeksplorasi cara-cara inovatif dalam mengatasi perubahan iklim sebagai sarana untuk mendorong pembangunan ekonomi hijau dan mobilitas yang aman di kawasan tersebut.

McDermott menambahkan bahwa mengatasi krisis iklim di kawasan Tanduk Afrika menjadi kunci untuk memfasilitasi migrasi yang aman, tertib, dan manusiawi, selain juga mempercepat realisasi Agenda PBB 2030.

Kawasan Tanduk Afrika sering digambarkan sebagai hotspot iklim, dengan peristiwa kekeringan, banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan yang rutin terjadi. Peristiwa itu memicu pengungsian penduduk sipil dalam skala besar, termasuk kaum nomaden dan petani swasembada (petani yang fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah cukup untuk mereka sendiri dan keluarga).