Jakarta (ANTARA) - Tabuh tahapan awal penyelenggaraan Pemilihan umum (Pemilu) Tahun 2024 telah dimulai pada Selasa, 14 Juni 2024. Sementara tahapan puncaknya, pemungutan dan penghitungan suara, akan digelar Rabu, 14 April 2024, yang ditandai dengan keluarnya Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.

Uniknya, Pemilu 2024 adalah Pemilu yang berbeda dalam sepanjang sejarah Indonesia. Karena, setelah Pemilu 14 April, dilanjutkan dengan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota serentak seluruh Indonesia dalam satu hari, yang menurut rencananya sekitar November 2024.

Secara regulasi, dasar hukum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Legislatif 2024, masih sama dengan Pemilu 2019, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hanya saja, konsekwensi adanya Undang-Undang Daerah Otonomi Baru, yaitu pemekaran dan bertambahnya 4 provinsi baru di Papua, sehingga menjadi 38 provinsi se-Indonesia.

Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu di provinsi baru. Sementara Pilkada, masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Realitas Pemilu

Namun, ada yang menjadi sangat penting pada pemilu kali ini dengan merefleksi dari Pemilu-Pemilu yang telah digelar pada periode pelaksanaan sebelumnya. Bahwa residu Pemilu yang digelar di 2014 dan 2019 masih terasa sampai sekarang. Yaitu adanya dampak polarisasi atau pembelahan di tengah masyarakat akibat dukungan pada Pemilu lalu tak dapat dihindari.

Pesta demokrasi usai, para elit tidak lagi dalam situasi bersaing atau berkompetisi, namun masyarakat masih tetap terjebak dalam situasi yang sama. Seperti munculnya perseteruan istilah "cebong", dan "kampret", idealnya tak terjebak dengan polarisasi seperti itu, karena sesungguhnya kita semua satu saudara bangsa Indonesia.

Ditambah lagi dengan maraknya berbagai potensi pelanggaran, dan kecurangan untuk mencapai ambisi kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara, maka akan berdampak terhadap tidak berkualitasnya proses dan hasil Pemilu.

Jika hal ini terus dibiarkan berulang, maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial, kondusivitas, konflik dan berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa.

Padahal, Pemilu kerap disebut sebagai pesta demokrasi. Layaknya sebuah pesta, Pemilu idealnya berlangsung dalam suasana kebahagiaan, kegembiraan, kenyamanan, kekerabatan dan persaudaraan. Sehingga, dalam kontestasi Pemilu, pilihan dan dukungan boleh beda, namun harmonisasi harus senantiasa terjaga dan terawat dengan baik.

Jika kita renungkan, Pemilu adalah sarana integrasi bangsa. Karena dengan sistem multi partai politik, meniscayakan adanya perbedaan. Termasuk berbedanya aspirasi dukungan, meniscayakan beragamnya harapan perubahan. Fakta tersebut, seyogyanya dipandang sebagai medium untuk menyatukan semua pemikiran dan kontribusi terbaik anak bangsa untuk mensejahterakan masyarakat, memajukan pembangunan, dan memberikan yang terbaik untuk bangsa.

Dengan demikian, Pemilu bukan sekedar merebut kekuasaan, namun dimaknai dan dibangun paradigma, sebagai "musyawarah akbar" masyarakat Indonesia untuk memilih kepemimpinan nasional dan wakil rakyat, yang diharapkan memberikan kontribusi terbaik dan kepedulian yang nyata kepada rakyat.

Sesuai dengan salah satu pilar bangsa, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, meskipun kita berbeda-beda suku, ras, agama, partai politik, namun tetap satu yaitu bangsa Indonesia. Itulah spirit perjuangan, pengorbanan yang telah dibangun oleh founding fathers kita dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tentu prosesi Pemilu adalah upaya kita melaksanakan amanat para pendiri bangsa untuk mengisi kemerdekaan, serta memajukan bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.

Ikhtiar Integrasi Bangsa

Oleh karena itu, semua harus berkolaborasi dan bersinergi dalam mewujudkan Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa.

Berikut ini ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan Pemilu sebagai integrasi bangsa.

Pertama, penyelenggaraan Pemilu harus terlaksana sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Karena jika penyelenggaraan Pemilu sudah sesuai dengan regulasi, maka akan menghasilkan proses yang berkualitas, terbangun trust publik, dan bermuara dengan legitimasi kepemimpinan yang kuat. Layaknya sebuah perlombaan, tentu harus ada "aturan main" yang jelas, sehingga permainan menjadi sportif, terjaga dari berbagai potensi konflik.

Karena itu, sebagai turunan pelaksanaan dari Undang-Undang, maka penyelenggara Pemilu yang terdiri dari KPU mengeluarkan Peraturan KPU, Bawaslu menerbitkan Peraturan Bawaslu, dan DKPP menentukan Peraturan DKPP, sebagai landasan aturan main dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, baik bagi penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, maupun pemilih, serta stakeholder terkait. Makanya penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum.

Kedua, penyelenggara Pemilu yang berintegritas dan profesionalitas. Sehingga dapat membangun kepercayaan publik dalam penyelenggaraan Pemilu, karena "panitia" Pemilu tersebut dinilai cakap dan sesuai aturan. Integritas berarti harus jujur dan adil bagi semua peserta Pemilu dan Pemilih. Profesionalitas berarti memastikan pelaksanaan pemilu berdasarkan peraturan dan perundangan. Maka berdasarkan prinsip Pemilu, penyelenggara harus mandiri, dan profesionalitas.

Ketiga, peserta Pemilu yang taat pada aturan. Mengikuti aturan main yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan. Sejatinya, Pemilu bukan sekedar merebut kekuasaan, namun momentum untuk menyampaikan visi, misi, ide, gagasan, dan menyusun program terapan, dalam mensejahterakan masyarakat dan memajukan pembangunan. Berkontribusi untuk kemajuan bangsa. Meraih simpati, dan membangun kepedulian dengan masyarakat. Sekaligus para kontestan, maupun partai politik, meningkatkan peran pendidikan politik bagi masyarakat pemilih. Taat pada aturan, dan tidak menghalalkan segala macam cara, sehingga tidak mencederai kemuliaan pesta demokrasi.

Keempat, Pemilih yang cerdas. Masyarakat sebagai pemilih, harus menjadi pemilih cerdas. Jangan mau terombang ambing dalam polarisasi dukungan calon atau kelompok tertentu. Apalagi sampai terjebak dengan politik transaksional atau politik uang. Pemilih jangan lagi menjadi objek kontestasi, namun harus menjadi subjek perubahan.

Oleh karena itu KPU dan Bawaslu, terus proaktif dalam melakukan pendidikan politik, dalam berbagai sosialisasi. Targetnya masyarakat menjadi lebih dewasa dalam perbedaan dukungan, tetap menjaga persatuan dan kesatuan, meningkatkan partisipatif pemilihan, sekaligus meningkatnya partisipasi pengawasan.

Kelima, ciptakan kondusivitas keamanan. Tugas menjaga keamanan dalam pemilu tak hanya tugas aparat keamanan, TNI dan Polri. Namun ada tanggung jawab kita semua. Untuk menciptakan kondusivitas Pemilu, dapat dilakukan dengan mengadakan berbagai kegiatan yang kreatif dan inovatif. Misalnya, mengadakan sosialisasi bagi pemilih dan peserta Pemilu dengan pendekatan kebudayaan, kesenian, pendidikan. Seperti KPU mengadakan sosialisasi partai politik peserta Pemilu, dengan melakukan kirab Pemilu 2024, ke seluruh daerah di Indonesia dengan pendekatan kebudayaan. Seperti Bawaslu menyambangi masyarakat, lalu membentuk kampung pengawasan, serta banyak hal lainnya yang dapat dilakukan.

Keenam, media informasi yang edukatif. Peran strategis media massa diakui sangat besar dalam menjadikan Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa.

Priya Kumari dan Suhas M.P dalam tulisannya Is Media the Fourth Pillar of Democracy?, menyebut istilah pilar keempat demokrasi pertama kali digunakan oleh sejarawan Skotlandia Thomas Carlyle pada tahun 1840. Media berperan untuk memberi informasi tentang semua kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Media hadir seperti cermin yang memantulkan realitas ke hadapan publik. Media juga memiliki kekuatan penekan untuk mendorong penyelidikan kasus dan menuntut keadilan.

Maka fungsi media harus dioptimalkan sebagai sarana informatif, edukatif, dan advokatif. Dengan menyebarkan informasi yang positif, sehingga mendorong terbentuknya pemikiran dan sikap positif masyarakat, serta membangun atmotfer politik yang kondusif. Sebaliknya bersama-sama, komitmen untuk menolak dan melawan berita hoaks, black campaign, dan negatif campaign, yang berdampak terhadap disintegrasi bangsa.

Momentum Pemilu, dapat disaksikan di berbagai media massa berlomba-lomba menyajikan berbagi tema program, terkait dengan kepemiluan. Baik dalam bentuk liputan, pemberitaan khusus, maupun talkshow, dan lain sebagainya. Turut mengambil peran sesuai dengan fungsinya.

Yang tak kalah penting, perlu semua pihak harus cerdas dalam menggunakan media sosial. Saring kebenaran informasi, sebelum di-sharing. Itupun harus bertanya kritis kembali, apakah memberikan manfaat positif, semakin meningkatkan kondusivitas dan integrasi bangsa, atau sebaliknya.

Kesuksesan proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu ada peran positif kita semua. Mari kita kolaborasi mewujudkan Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, menuju Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh. Negara yang adil, makmur, dan sejahtera rakyatnya, serta menjadi bangsa besar yang bermartabat dimata dunia. Yuk kita mulai dengan menciptakan Pemilu 2024 yang aman, damai, dan kondusif sebagai sarana integrasi bangsa.

*) Muhamad Zaini, M.Kom.I adalah
Ketua Bawaslu Kota Tanjungpinang