“Indikasi bahwa Armenia tidak tertarik dengan perjanjian damai ketika menentang klausul yang mengecualikan klaim teritorial terhadap Azerbaijan dalam teks perjanjian damai," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Azerbaijan Aykhan Hajizada dalam sebuah pernyataan, Rabu (15/3).
Penentangan tersebut dianggap Azerbaijan telah menciptakan peluang untuk pelanggaran di masa depan bahkan ketika teks perjanjian sedang disiapkan, menyembunyikan pendekatan yang non konstruktif, serta memunculkan ide-ide seperti "mekanisme internasional" dan "lembaga jaminan internasional".
Pernyataan tersebut, yang menanggapi komentar Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan sehari sebelumnya, mengatakan fakta bahwa Yerevan menentang upaya mediasi dari Uni Eropa dengan mengajukan berbagai alasan “menunjukkan bahwa ia belum menyerah pada praktik menciptakan hambatan untuk negosiasi selama masa pendudukan hampir 30 tahun.”
Kemlu Azerbaijan lebih lanjut mengatakan bahwa Armenia bertujuan untuk menutupi kemungkinan provokasi militer dengan menuduh Baku menyangkal "kesepakatan imajiner" dan mengklaim bahwa Azerbaijan akan mengintensifkan situasi di perbatasan antara kedua negara.
“Fakta bahwa Perdana Menteri Armenia mengatakan bahwa dia siap untuk menandatangani proyek di mana hanya proposal Armenia yang disebutkan dan proposal Azerbaijan tidak diperhitungkan adalah bukti lain dari ketidakpeduliannya terhadap proses perdamaian,” kata kementerian.
Pihak Azerbaijan juga menuntut agar aktivitas destruktif dikutuk dan dicegah oleh komunitas internasional.
Hubungan antara kedua bekas republik Soviet itu tegang sejak 1991, ketika militer Armenia menduduki Nagorno-Karabakh, wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
Pada musim gugur 2020 dalam 44 hari bentrokan, Baku membebaskan beberapa kota, desa, dan permukiman dari pendudukan Armenia.
Insiden itu berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi Rusia.
Perjanjian damai kemudian dirayakan sebagai kemenangan di Azerbaijan.
Kemlu Azerbaijan juga membantah komentar Pashinyan di wilayah Karabakh, dengan mengatakan klaimnya sama sekali tidak berdasar dan sangat mendistorsi fakta sejarah, serta merupakan pukulan lain bagi proses membangun perdamaian di wilayah tersebut.
“Penolakan Perdana Menteri Armenia terhadap fakta bahwa warga Azerbaijan diusir secara paksa dari tanah mereka di wilayah Armenia menunjukkan niatnya untuk membenarkan kebijakan pembersihan etnis yang sistematis dan terarah yang dilakukan oleh Armenia selama beberapa dekade,” kata kementerian itu.
Berdasarkan pernyataan itu, disebutkan bahwa upaya Pashinyan untuk campur tangan dalam dialog antara Azerbaijan dan penduduk Armenia di wilayah Karabakh dan penggunaan pernyataan provokatif terhadap integritas teritorial Azerbaijan "tidak dapat diterima".
“Fakta bahwa Armenia mengabaikan posisi kami bahwa pembahasan reintegrasi penduduk asal Armenia adalah urusan dalam negeri Azerbaijan dan bahwa negara asing tidak memiliki peran dalam masalah ini menunjukkan bahwa ia belum melepaskan kebijakan agresi yang membentuk negara kami di awal 90-an dengan berkedok prinsip 'rakyat menentukan nasibnya sendiri'," kata Kemlu Azerbaijan.
“Perdana Menteri Armenia harus memahami bahwa hak penduduk Armenia di wilayah Karabakh tidak akan pernah dapat mengalahkan hak penduduk Azerbaijan di wilayah tersebut, dan Azerbaijan hanya akan menerapkan pendekatan yang sama terhadap berbagai etnis yang tinggal di wilayahnya,” demikian pernyataan tersebut.
Pada Senin (13/3), Azerbaijan mengundang perwakilan penduduk Armenia yang tinggal di wilayah Karabakh untuk mengadakan pembicaraan putaran kedua tentang reintegrasi mereka ke dalam masyarakat Azerbaijan, yang pertama berlangsung pada 1 Maret di markas besar kontingen penjaga perdamaian Rusia yang ditempatkan di wilayah tersebut.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Melihat lebih dekat "kota hantu" Aghdam
Baca juga: Memandang kerusuhan Sumgayit 1988
Baca juga: Nagorno Karabakh bergolak lagi, lima orang tewas