Denpasar (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Made Mangku Pastika berpandangan Bali memerlukan kebijakan publik yang aspiratif dan kontekstual agar pemanfaatan sumber daya dapat maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

"Selain harus aspiratif dan kontekstual, hendaknya juga harus sesuai dengan koridor aturan berupa peraturan perundang-undangan maupun kearifan lokal seperti Tri Hita Karana," kata Pastika dalam acara penyerapan aspirasi di Denpasar, Jumat.

Acara penyerapan aspirasi masyarakat bertajuk Mengawal Kebijakan Publik yang Aspiratif dan Implementatif tersebut menghadirkan narasumber tokoh masyarakat Putu Suasta dan A.A. Gede Agung Aryawan serta akademikus Dr. Gede Suardana, M.Si.

Penyerapan aspirasi yang diisi dengan dialog hangat ini juga dihadiri Ketua NCPI Bali Agus Maha Usadha sejumlah akademikus dari Universitas Udayana dan Warmadewa, para praktisi hukum dan para mahasiswa.

Dikatakan pula bahwa anggaran yang dikelola pemerintah daerah di Provinsi Bali cukup besar. Pemerintah Provinsi Bali dengan APBD lebih dari Rp7 triliun ditambah dengan alokasi APBN di Bali (belanja transfer dan belanja kementerian/lembaga) dengan nilai lebih dari Rp21 triliun.

Alokasi anggaran tersebut, menurut dia, belum termasuk APBD dari sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali.

"Jadi, tidak ada alasan tidak ada duit. Belum lagi ditambah dengan dukungan SDM yang jumlahnya besar. Dengan sumber daya yang besar itu seharusnya masyarakat bisa sejahtera," ucap mantan Gubernur Bali dua periode itu.

Persoalan berikutnya, lanjut dia, bagaimana mengatur sumber daya itu menjadi kebijakan publik agar benar-benar terarah dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

"Kepala daerah tidak saja harus memiliki kemampuan sebagai pemimpin, tetapi sekaligus harus memiliki kemampuan manajerial untuk mengelola sumber daya," katanya.

Baca juga: Pastika usul Bali perlu hidupkan kembali usaha penggilingan padi
Baca juga: Anggota DPD mengagumi pameran UMKM HUT Pemkot Denpasar


Selain itu, kepala daerah juga harus taat aturan dan taat asas sehingga kebijakannya harus sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).

"Yang tidak kalah penting adalah para pemimpin daerah harus mengerti cara menyampaikan kebijakan dengan jelas kepada masyarakat. Harus bisa sebagai panutan dan perilakunya patut diteladani. Selain itu, pemimpin juga harus paham perubahan dan bisa menjadi agen perubahan," ujar Pastika.

Menurut akademikus Gede Suardana, dengan anggaran yang begitu besar, semestinya tidak ada lagi warga yang miskin. Berdasarkan data BPS mencapai 200.000 jiwa.

"Tidak ada anak-anak yang susah mendapatkan akses pendidikan. Akan tetapi, sekarang yang terjadi dengan anggaran yang besar itu biaya pendidikan masih tinggi," ujar mantan Ketua KPU Kabupaten Buleleng itu.

Suardana menyebut ada dua jenis kebijakan publik, yakni yang pilihan dan yang wajib. Hal-hal yang termasuk pilihan adalah pembangunan infrastruktur, sedangkan yang wajib meliputi pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

Akan tetapi, realitanya yang terjadi di lapangan itu kepala daerah lebih memilih membangun infrastruktur lebih populis karena masyarakat bisa mudah melihat keberhasilannya.

Putu Suasta, pengamat sosial dan budayawan Baki, memandang penting adanya kontrol dari masyarakat agar kebijakan itu berjalan sesuai dengan rencana dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak.

Alumnus Cornell University AS ini mendorong perlunya peran generasi muda dan media dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan dengan memperkuat posisi tawar dan jaringan.

A.A. Gede Aryawan, narasumber berikutnya, mengajak generasi muda agar berani berbicara mengkritisi kebijakan publik, terutama antara rencana pemerintah dan implementasi.

Pria yang akrab disapa Gung De ini mengaku prihatin dengan wajah dan tata ruang Kota Denpasar. Masalahnya jalan banyak rusak, lingkungan pasarnya mulai kumuh karena pedagang tercecer di pinggir jalan, dan maraknya pelanggaran kawasan jalur hijau.