Jakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dr Dicky L. Tahapary, Sp.PD-KEMD, Ph.D menyarankan nilai batas indeks massa tubuh (IMT) untuk mendefinisikan obesitas pada orang dewasa di Indonesia direvisi menjadi di atas 25 kg/m2.

“Kami telah merilis publikasi yang menyarankan untuk merevisi nilai batas IMT ≥25 kg/m2, ambang batas ini mungkin lebih tepat untuk mendefinisikan obesitas pada populasi orang dewasa di Indonesia," kata Dicky melalui keterangan tertulis, Kamis.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan seseorang mengalami obesitas tingkat pertama apabila IMT-nya 25 - 29,9 dan obesitas tingkat kedua dengan IMT di atas 30.

Sementara menurut Pedoman Gizi Seimbang, seseorang dikatakan obesitas apabila memiliki IMT di atas 27.

IMT didapatkan dengan membagi antara berat badan dalam satuan kilogram dan tinggi badan dalam satuan meter dikuadratkan atau berat badan (kilogram) dibagi tinggi badan (meter) dikali tinggi badan (meter).

Baca juga: Kurang tidur bisa tingkatkan risiko obesitas

Tak hanya IMT, Dicky juga menyarankan untuk menambahkan Edmonton Obesity Staging System (EOSS) ke dalam klasifikasi antropometri untuk evaluasi klinis obesitas yang lebih baik.

Edmonton Obesity Staging System adalah sistem analisa obesitas yang mencakup faktor metabolik, fisik, psikologis dan evaluasi klinis untuk memberikan opsi intervensi obesitas yang terbaik.

Sistem itu mengklasifikasikan obesitas ke dalam 5 kategori (0–4 tingkatan), tingkat 0 menunjukkan tidak ada faktor risiko terkait obesitas atau gangguan kesehatan apa pun; dan tingkat 4 menunjukkan kecacatan parah akibat penyakit kronis terkait obesitas.

Selain itu, sambung Dicky, batas lingkar pinggang yang lebih rendah dari standar WHO harus diterapkan di Indonesia. Pada banyak populasi Asia, prevalensi risiko metabolik yang tinggi terjadi pada lingkar pinggang yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Eropa.

“Penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat bagaimana memahami dan melakukan pengukuran lingkar pinggang sendiri,” tambah dr. Dicky.

Baca juga: Ubah pola makan jadi langkah pertama tangani obesitas pada anak

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan RI Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes, dalam keterangan yang sama, mengatakan hasil itu menunjukkan obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling mendesak di Indonesia.

"Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, yakni stigma mengenai obesitas dan ketidaksadaran akan tingkat keseriusan kondisi obesitas," kata Eva.

Obesitas dapat menyebabkan komplikasi, seperti hiperglikemia, diabetes tipe-2, dan penyakit kardiovaskular, hingga kematian. Menurut penelitian, setiap lima unit IMT di atas 25kg/m2 dapat meningkatkan risiko kematian sebesar 30 persen.

Baca juga: Edukasi gizi demi cegah obesitas dimulai sebelum menikah

Bertepatan dengan World Obesity Day, Hari Obesitas Dunia setiap 4 Maret, Kementerian Kesehatan bersama perusahaan perawatan kesehatan di Indonesia mengajak semua pihak untuk mengambil peran, meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat mengenai obesitas dan mengambil aksi nyata untuk mengubah persepsi buruk dan mendorong perubahan dalam penanganan obesitas.

Wakil Direktur dan Manajer Umum Nordisk Indonesia Sreerekha Sreenivasan menuturkan perusahaannya berfokus pada tiga area untuk mendorong perubahan terkait obesitas.

”Obesitas lebih dari sekadar kelebihan berat badan, ini adalah masalah kesehatan jangka panjang," kata Sreenivasan.

Ketiga area ini yakni pencegahan dengan fokus membangun lingkungan yang lebih sehat, kemudian pengakuan untuk menumbuhkan empati bagi orang-orang dengan obesitas dan menjadikan obesitas sebagai prioritas perawatan kesehatan.

Terakhir, perawatan untuk memastikan orang dengan obesitas memiliki akses ke perawatan berbasis sains dan komprehensif.

Baca juga: Obesitas anak bisa disebabkan kelainan genetik ​​​​​​​Baca juga: IDAI ingatkan bahaya obesitas yang dialami 40 persen warga Jakarta