"Perkembangan yang terjadi, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga ke ranah elektronik," katanya, di Semarang, Rabu, merefleksi peringatan Hari Perempuan Internasional.
Sosok yang akrab disapa Yaya itu menjelaskan bahwa KSBE yang dialami perempuan, dimulai tindakan pelecehan seksual hingga eksploitasi seksual menggunakan beragam platform media sosial.
Menurut dia, LRC-KJHAM saat ini sudah menangani beberapa kasus KSBE di berbagai wilayah di Jawa Tengah, seperti Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Jepara.
"Ada juga KSBE di beberapa kabupaten/kota lainnya yang kami advokasi. Sejauh ini, kebanyakan kasus masih dalam tahap konseling untuk meyakinkan korban agar mau meneruskan ke ranah hukum," jelasnya.
Baca juga: KPPPA: Cegah KSBE sosialisasi penggunaan medsos yang baik harus masif
Baca juga: Komnas teliti penanganan kekerasan seksual elektronik di tujuh negara
Ia mengungkapkan KSBE itu terjadi, di antaranya diawali dari saling kontak melalui media sosial yang berlanjut secara intens hingga terjadi pengambilan gambar atau foto tanpa mengenakan pakaian.
"Nah, foto atau gambar ini dijadikan oleh pelaku sebagai alat untuk mengancam atau memaksa korban untuk menuruti keinginannya, seperti hubungan seksual terus menerus dan pemerasan uang," katanya.
Yaya mengatakan bahwa pelaku mengancam jika korban tidak menuruti keinginannya maka akan menyebarluaskan foto tersebut sehingga kebanyakan korban sulit keluar dari persoalan tersebut.
Baca juga: Jejak digital dinilai hambat penanganan kekerasan seksual elektronik
Ia mengungkapkan KSBE itu terjadi, di antaranya diawali dari saling kontak melalui media sosial yang berlanjut secara intens hingga terjadi pengambilan gambar atau foto tanpa mengenakan pakaian.
"Nah, foto atau gambar ini dijadikan oleh pelaku sebagai alat untuk mengancam atau memaksa korban untuk menuruti keinginannya, seperti hubungan seksual terus menerus dan pemerasan uang," katanya.
Yaya mengatakan bahwa pelaku mengancam jika korban tidak menuruti keinginannya maka akan menyebarluaskan foto tersebut sehingga kebanyakan korban sulit keluar dari persoalan tersebut.
Baca juga: Jejak digital dinilai hambat penanganan kekerasan seksual elektronik
Baca juga: Komnas Perempuan: Kekerasan seksual berbasis elektronik naik drastis
Meski demikian, Yaya mengaku kebanyakan korban KBSE tidak mau memproses secara hukum. Padahal, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah mengatur KBSE.
"Ada juga kasus KBSE yang korbannya sudah melaporkan kasusnya ke polisi. Jadi, korban ini diancam videonya mau disebarkan. Tetapi, polisinya bilang kan belum terjadi (pemerasan)," ujarnya.
Yaya menegaskan bahwa UU TPKS sebenarnya sudah tegas mengatur KBSE, tetapi implementasi di lapangan memang belum seperti yang diharapkan, termasuk dari pihak kepolisian.
"Makanya, kami terus berkoordinasi dengan penyidik di Polda Jateng dan Polres. Selain juga mendampingi korban, dan meyakinkan korban untuk berani memperkarakan secara hukum," pungkasnya.
Baca juga: JMS dorong Panja RUU TPKS atur tindak pidana perkosaan dan KSBE
Baca juga: Anggota DPR harap RUU TPKS jangkau kekerasan seksual di medsosMeski demikian, Yaya mengaku kebanyakan korban KBSE tidak mau memproses secara hukum. Padahal, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah mengatur KBSE.
"Ada juga kasus KBSE yang korbannya sudah melaporkan kasusnya ke polisi. Jadi, korban ini diancam videonya mau disebarkan. Tetapi, polisinya bilang kan belum terjadi (pemerasan)," ujarnya.
Yaya menegaskan bahwa UU TPKS sebenarnya sudah tegas mengatur KBSE, tetapi implementasi di lapangan memang belum seperti yang diharapkan, termasuk dari pihak kepolisian.
"Makanya, kami terus berkoordinasi dengan penyidik di Polda Jateng dan Polres. Selain juga mendampingi korban, dan meyakinkan korban untuk berani memperkarakan secara hukum," pungkasnya.
Baca juga: JMS dorong Panja RUU TPKS atur tindak pidana perkosaan dan KSBE
Baca juga: I2: Aturan tentang kekerasan seksual tuai polemik di media sosial