Mentok, Babel (ANTARA) - Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan di Nusantara, ada banyak ragam dan ekspresi kebudayaan yang bisa ditemukan. Di sebagian besar wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, misalnya, dapat ditemukan tradisi nyadran.

Nyadran merupakan tradisi yang dilakukan warga pada bulan Ruwah atau 1 bulan menjelang Ramadhan, yang diisi dengan bersih-bersih makam leluhur sekaligus mendoakan sanak saudara, kerabat, bahkan para pendahulu yang berjasa atas suatu daerah agar dilapangkan jalan menuju surga.

Biasanya, pada tradisi ini warga tidak hanya menggelar ritual itu, namun juga melengkapinya dengan makan besar bersama atau kenduri yang diikuti seluruh warga yang bergotong- royong membersihkan makam di desa setempat.

Berbeda dengan tradisi Ruwah di Pulau Bangka, tepatnya di Desa Penyampak, Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di desa tersebut, setiap awal bulan Ruwah, warga menggelar tradisi membuat kue dodol yang dilakukan para pria perwakilan setiap keluarga yang tinggal di desa tersebut.

Bagi warga Desa Penyampak, tradisi membuat dodol sudah berlangsung lama, bahkan diyakini warga setempat, pembuatan dodol pada saat bulan Ruwah sudah ada sejak ratusan tahun silam dan tetap dijalankan dari generasi ke generasi.

Ketua Panitia Dodol Bergema Penyampak, Joko Malis, mengatakan tradisi memasak dodol di Desa Penyampak merupakan warisan nenek moyang yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tradisi ini dilaksanakan pada bulan Ruwah sebagai bentuk kegembiraan warga menyambut bulan Ramadhan.

"Dodol tersebut menjadi hidangan utama untuk para tamu yang datang pada Sedekah Ruwah Desa Penyampak," katanya.

Pada zaman dulu, warga membuat dodol secara mandiri di rumah masing-masing untuk persiapan sedekah Ruwah. Namun mulai tahun 2011, pola itu diubah oleh warga setempat. Pembuatan dodol dilaksanakan di satu lokasi dengan melibatkan perwakilan dari seluruh keluarga yang ada di desa itu.

Untuk memberikan nilai keunikan kegiatan massal membuat dodol, warga kemudian menyepakati memberi nama tradisi dodol bergema (akronim dari bersama bersatu bergerak maju) yang dipusatkan di Lapangan Gorip, Desa Penyampak.

Untuk tahun ini, pembuatan dodol massal dilaksanakan warga desa dengan memasak jenang itu di 56 wajan. Dalam setiap wajan dikerjakan minimal tiga orang laki-laki yang secara bergantian mengaduk adonan dan menjaga nyala api agar stabil kecil sehingga dodol yang dimasak dengan durasi antara 8 hingga 10 jam itu hasilnya maksimal.

Menurut Joko Malis, ada beberapa keistimewaan yang menjadi ciri khas dodol Desa Penyampak karena kue tersebut dimasak menggunakan bahan-bahan pilihan, antara lain, tepung beras ketan hasil panen warga setempat dan tidak elok menggunakan bahan tepung dari membeli di toko.

Selain tepung ketan pilihan, bahan berikutnya adalah kelapa, gula aren, gula pasir, dan sedikit minyak kelapa.

Adonan bahan itu kemudian dicampur dalam wajan besar, diletakkan di atas tungku untuk dimasak menggunakan kayu bakar yang sudah diatur sedemikian rupa agar api yang dihasilkan tidak terlalu panas dan stabil.

Karena proses memasak cukup lama (8--10 jam) dengan cara memasak yang pas maka dodol penyampak tahan lama dan tidak akan basi hingga 3-4 bulan. Pada proses ini warga juga tidak memakai bahan pengawet sama sekali.

"Ini salah satu wujud kegembiraan kita memasuki bulan Ruwah, kita bersama-sama bergotong royong dan saling berbagi," katanya.


Kaya makna

Hampir setiap daerah memiliki kue dodol khas dengan latar belakang cerita, mitos, dan tradisi yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan lokal.

Di sejumlah daerah, dodol atau wajik, jenang, lempok, dan beragam nama lain bisa menjadi simbol identitas status sosial. Karena, untuk membuat dodol membutuhkan kesabaran tinggi, bahan baku pilihan, dan proses cukup lama agar menjadi makanan yang nikmat untuk disajikan kepada para tamu.

Proses pembuatannya pun tersirat banyak makna filosofi, mulai dari keberagaman, kebersamaan, gotong royong, berbagi tugas sesuai kemampuan, dan rasa peduli terhadap sesama.

Dalam budaya warga keturunan Tionghoa, dodol atau lebih dikenal dengan sebutan kue keranjang khas perayaan Imlek, juga memiliki makna dan diyakini membawa keberuntungan.

Adapun di sebagian besar masyarakat Jawa, dodol atau jenang menjadi salah satu makanan pelengkap dalam setiap pelaksanaan upacara adat. Makanan ini menjadi simbol rasa syukur, harapan agar diberikan keselamatan dan keberkahan, serta sifat jenang yang lengket bisa juga dimaknai sebagai tali yang mengeratkan silaturahim bagi sesama manusia.

Bagi warga Desa Penyampak, dodol bergema dapat dimaknai sebagai simbol kegembiraan menyambut Ramadhan sekaligus menjadi pengerat silaturahim. Karena, melalui tradisi dodol bergema warga dari desa lain berkumpul di Desa Penyampak, bahkan banyak keluarga dari luar daerah yang menyempatkan diri pulang pada saat tradisi tersebut berlangsung.

Kasubbag Sosial Kemasyarakatan Sekretariat Daerah Kabupaten Bangka Barat Agus Sunawan mengatakan ekspresi kebudayaan yang dilaksanakan masyarakat saat memasuki bulan Ruwah atau bulan terakhir menjelang Ramadhan di Kabupaten Bangka Barat cukup beragam.

Namun pada intinya, sejumlah tradisi yang digelar pada bulan Ruwah adalah untuk mendoakan arwah para leluhur, sanak saudara yang sudah meninggal dunia, dan untuk membangun kesiapan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Selain membersihkan makam dan mendoakan yang sudah meninggal dunia, seperti layaknya tradisi nyadran, pada bulan Ruwah juga dimanfaatkan warga untuk saling mengunjungi sanak saudara, kerabat, dan handai taulan untuk saling memaafkan.

Tradisi saling memaafkan ini yang sedikit berbeda dengan daerah lain. Di sebagian desa di Bangka Barat, pesta adat dalam bulan Ruwah seperti halnya waktu Lebaran. Banyak makanan disajikan di rumah-rumah warga untuk menyambut tamu yang datang, bersilaturahim, dan saling memaafkan.

Tradisi menerima tamu ini tidak sekadar menerima tamu dari kalangan saudara yang tinggal di desa setempat, namun banyak juga famili yang berada di luar kota, bahkan luar pulau, jauh-jauh datang pada saat Pesta Adat Ruwah.

"Pada Pesta Adat Ruwah ini sudah layaknya Lebaran, saling berkunjung ke rumah-rumah warga, saling memaafkan, dan saling bersilaturahim," ujarnya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Ruwah ini sejalan dengan nilai-nilai agama, antara lain, membangun sikap gotong royong, mengeratkan tali silaturahim, dan saling memaafkan agar semakin siap menjalani bulan penuh ampunan Ramadhan.


Potensi wisata

Kabupaten Bangka Barat yang berada di ujung barat Pulau Bangka memiliki beragam tradisi dan budaya yang hingga saat ini masih dilaksanakan dan dijaga kelestariannya, agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tradisi yang berkembang ini memiliki nilai-nilai kearifan lokal dan selaras dengan nilai-nilai agama yang dianut warga setempat.

Dalam beberapa tahun terakhir, tradisi dodol bergema Desa Penyampak telah resmi menjadi salah satu agenda tahunan pariwisata di Kabupaten Bangka Barat dan diharapkan pelaksanaannya semakin menarik dan meriah.

Untuk tahun ini, kemeriahan agenda pariwisata budaya tahunan ini juga diisi panggung hiburan dengan menampilkan pertunjukan tari daerah dan musik. Bahkan Bupati Bangka Barat Sukirman yang hadir dalam acara tersebut juga menyempatkan diri melantunkan beberapa lagu untuk menambah kemeriahan suasana.

Camat Tempilang, Rusian, mengatakan masyarakat di kecamatan ini memiliki ragam tradisi dan budaya yang khas untuk dijadikan daya tarik wisatawan. Selain dodol bergema, juga ada adat perang ketupat yang biasanya dilaksanakan pada hari ke-15 atau minggu ketiga di bulan Syaban dalam kalender Hijriah.

Kecamatan Tempilang juga memiliki situs Benteng Kota yang menjadi salah satu cagar budaya Kabupaten Bangka Barat.

"Berbagai potensi ini akan terus kita lestarikan dan kembangkan untuk mendukung kemajuan sektor pariwisata," katanya.

Hal senada dikatakan Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming yang mengatakan pariwisata di Tempilang suatu saat akan maju, bahkan bisa menjadi salah satu tujuan utama wisatawan yang datang di Babel.

"Kami optimistis akan terus berkembang, Pemkab Bangka Barat juga mendukung agenda pariwisata tradisi dan budaya yang ada, bahkan kita sedang merencanakan untuk membuatkan peraturan daerah guna memudahkan dalam dukungan anggaran dan fasilitasi," katanya.

Selain potensi tradisi dan budaya yang ada, potensi keindahan pantai di daerah itu juga tidak kalah menawan dibandingkan daerah lain, namun permasalahan utama yang dihadapi saat ini adalah usaha untuk mengemas berbagai agenda wisata tersebut agar semakin menarik dan mampu menyedot pengunjung luar daerah, bahkan mancanegara.

Agenda wisata yang secara umum dilaksanakan secara meriah diharapkan tidak mengikis semangat, kesakralan, dan nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang diyakini menjadi bulan penuh keberkahan, ampunan, rahmat, serta kasih sayang Allah SWT.

Kesiapan dalam menjalankan ibadah puasa memiliki banyak keutamaan baik untuk diri pribadi maupun dalam menjalin hubungan sesama manusia serta dengan Sang Pencipta.