Ia mengatakan ingin menjadikan sarung sebagai pakaian sehari-hari untuk berpergian seperti halnya celana atau rok yang sudah pasti semua orang punya.
Baca juga: Sarung antara simbol perlawanan kaum santri dan ekonomi kreatif
"Kalau ini kita kita galakkan semua orang jadi banyak bikin sarung, bisa kain apapun tidak harus kotak-kotak, dan otomatis naikkan demand akan sarung dan otomatis akan sejahterakan masyarakat dan hubungannya dengan ekonomi masyarakat," ucap Dina.
Ia mengatakan pada zaman penjajahan, sarung identik dengan para santri yang juga ikut melawan penjajah. Dan saat ini, ia ingin membangkitkan kembali sarung menjadi lambang kemandirian negara Asia.
Dina juga mengatakan ingin mempopulerkan pemakaian sarung atau kain, tidak hanya untuk wanita saja, tetapi juga kepada pria yang masih merasa risih ketika memakai sarung.
"Tahun ini adalah tahun untuk mempopulerkan untuk mengenalkan terutama pria, kalau banyak orang pakai sarung dimana melihat itu jadi lebih berani, pakai sarung kan enak nyaman apalagi tropis ya dan sehat," ucapnya.
Berbagai upaya juga telah dilakukannya bersama komunitas sarung lainnya yaitu mengajarkan pembuatan sarung untuk pengrajin kain di daerah dengan model yang simpel dan tidak perlu menggunakan pola, terutama untuk turis.
Baca juga: Presiden ajak masyarakat memakai sarung setiap hari tertentu
"Ini sebenarnya tidak sulit dengan gaya sarung, semua orang kenal sarung, semua orang tahu tinggal dipakai beraniin diri jadi alternatif berpakaian," ucap Dina.
Rencananya komunitas sarung akan mengikuti Car Free Day (CFD) pada tanggal 5 Maret untuk mempopulerkan gaya sarung dengan berjalan dari gedung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sampai ke Sarinah.
Baca juga: Peserta pria diminta pakai sarung dan peci pada upacara Hari Santri
Baca juga: Motif sarung batik Pakem Kaumanan menambah khazanah batik Pekalongan
Baca juga: Masyarakat diajak rawat tradisi melalui fesyen dengan bersarung