POGI: Kematian ibu di Indonesia jauh lebih kompleks dari negara lain
2 Maret 2023 23:01 WIB
Sekretaris Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting (PAKIAS) POGI Dwiana Ocviyanti (kiri) dalam Konferensi Pers IDI di Jakarta, Kamis (2/3/2023). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Obstetri Ginekolog Indonesia (POGI) menyatakan bahwa penyebab dari tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia jauh lebih komplek dan tidak bisa disamakan dengan negara lain.
“Saya tahu lebih dari 50 persen mereka (ibu hamil) itu tidak sehat. Sehingga tidak bisa disamakan dengan ibu-ibu di Eropa, Singapura atau Malaysia,” kata Sekretaris Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting (PAKIAS) POGI Dwiana Ocviyanti dalam Konferensi Pers IDI di Jakarta, Kamis.
Dwiana menuturkan berdasarkan hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, angka kematian ibu di Indonesia masih mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut, ditargetkan pemerintah turun menjadi 183 per 100 kematian hidup pada tahun 2024 mendatang.
Sayangnya hal tersebut tidak mudah dilakukan karena POGI menilai, kesehatan para ibu di Indonesia belum bisa dikatakan sehat. Sebab, berdasarkan data Riskesdas 2018 jumlah ibu hamil yang terkena anemia sebesar 48,9 persen.
“Walaupun nampaknya turun dari 305 per 100.000 kelahiran hidup, tapi (angka AKI kita) masih jelek. Kita masih ada di bawah Vietnam, teman kita yang terdekat hanya tinggal Laos. Jadi kalau Malaysia di antara 20-40, dan Singapura 5,” katanya.
Ditambah, katanya, tidak semua anemia bisa diselesaikan dengan diberikan tablet tambah darah, karena beberapa ibu di antaranya juga mengidap talasemia. Dengan demikian, para dokter harus mendiagnosa lebih jauh penyebab anemia tersebut terjadi.
Dwiana menekankan kunci utama mencegah AKI makin tinggi adalah setiap ibu harus sehat. Sayangnya selain anemia, berdasarkan pantauan POGI banyak ibu hamil yang terkena obesitas, kekurangan energi kronik (KEK). Di sisi lain, seperlima dari ibu hamil yang ada terlalu kurus.
“Seperti yang saya katakan 48,9 persen anemia, 20 persennya obesitas, hampir 20 persen KEK, lima persen sakit jantung, 10 persen hipertensi. Ada lagi lima persen lagi diabetes, kalau dijumlah bisa 100 persen tapi pasti ada yang duplikasi,” ujarnya.
Menurutnya situasi semakin kompleks, karena kematian ibu juga disebabkan oleh preeklamsia sebagai pembunuh pada ibu nomor satu di Indonesia. Preeklamsia menyebabkan ibu terkena darah tinggi, merusak berbagai organ seperti otak, ginjal, lever bahkan sistem darahnya.
“Sehingga lebih parah diatasi dibanding hipertensi pada orang tua. Yang saya hadapi begitu, lalu kalau seorang ibu hamil darah tinggi, tiba-tiba bayinya lahir kecil, ada yang meninggal di dalam, kemudian ibunya kejang, koma bayinya akhirnya dilahirkan dalam kondisi prematur dan kecil dan berpotensi stunting,” katanya.
Dwiana mengingatkan bahwa semakin berusia, kehamilan ibu semakin berisiko. Sehingga keluarga harus memahami bahwa pemeriksaan kehamilan menjadi suatu hal yang sangat penting, agar setiap anomali bisa segera ditangani sesuai diagnosa dokter yang tepat.
“Kami butuh kolaborasi kuat, kita harus bantu Indonesia untuk menyehatkan ibu dengan cara kita meminta bantuan dokter umum untuk ayo skrining, sehingga tidak cukup seorang ibu hamil memeriksakan diri tidak dengan dokter,” katanya.
Baca juga: IDI dan tujuh organisasi profesi deklarasikan komitmen cegah stunting
Baca juga: IDI: Dokter umum berperan penting tekan tingginya angka kematian ibu
“Saya tahu lebih dari 50 persen mereka (ibu hamil) itu tidak sehat. Sehingga tidak bisa disamakan dengan ibu-ibu di Eropa, Singapura atau Malaysia,” kata Sekretaris Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting (PAKIAS) POGI Dwiana Ocviyanti dalam Konferensi Pers IDI di Jakarta, Kamis.
Dwiana menuturkan berdasarkan hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, angka kematian ibu di Indonesia masih mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut, ditargetkan pemerintah turun menjadi 183 per 100 kematian hidup pada tahun 2024 mendatang.
Sayangnya hal tersebut tidak mudah dilakukan karena POGI menilai, kesehatan para ibu di Indonesia belum bisa dikatakan sehat. Sebab, berdasarkan data Riskesdas 2018 jumlah ibu hamil yang terkena anemia sebesar 48,9 persen.
“Walaupun nampaknya turun dari 305 per 100.000 kelahiran hidup, tapi (angka AKI kita) masih jelek. Kita masih ada di bawah Vietnam, teman kita yang terdekat hanya tinggal Laos. Jadi kalau Malaysia di antara 20-40, dan Singapura 5,” katanya.
Ditambah, katanya, tidak semua anemia bisa diselesaikan dengan diberikan tablet tambah darah, karena beberapa ibu di antaranya juga mengidap talasemia. Dengan demikian, para dokter harus mendiagnosa lebih jauh penyebab anemia tersebut terjadi.
Dwiana menekankan kunci utama mencegah AKI makin tinggi adalah setiap ibu harus sehat. Sayangnya selain anemia, berdasarkan pantauan POGI banyak ibu hamil yang terkena obesitas, kekurangan energi kronik (KEK). Di sisi lain, seperlima dari ibu hamil yang ada terlalu kurus.
“Seperti yang saya katakan 48,9 persen anemia, 20 persennya obesitas, hampir 20 persen KEK, lima persen sakit jantung, 10 persen hipertensi. Ada lagi lima persen lagi diabetes, kalau dijumlah bisa 100 persen tapi pasti ada yang duplikasi,” ujarnya.
Menurutnya situasi semakin kompleks, karena kematian ibu juga disebabkan oleh preeklamsia sebagai pembunuh pada ibu nomor satu di Indonesia. Preeklamsia menyebabkan ibu terkena darah tinggi, merusak berbagai organ seperti otak, ginjal, lever bahkan sistem darahnya.
“Sehingga lebih parah diatasi dibanding hipertensi pada orang tua. Yang saya hadapi begitu, lalu kalau seorang ibu hamil darah tinggi, tiba-tiba bayinya lahir kecil, ada yang meninggal di dalam, kemudian ibunya kejang, koma bayinya akhirnya dilahirkan dalam kondisi prematur dan kecil dan berpotensi stunting,” katanya.
Dwiana mengingatkan bahwa semakin berusia, kehamilan ibu semakin berisiko. Sehingga keluarga harus memahami bahwa pemeriksaan kehamilan menjadi suatu hal yang sangat penting, agar setiap anomali bisa segera ditangani sesuai diagnosa dokter yang tepat.
“Kami butuh kolaborasi kuat, kita harus bantu Indonesia untuk menyehatkan ibu dengan cara kita meminta bantuan dokter umum untuk ayo skrining, sehingga tidak cukup seorang ibu hamil memeriksakan diri tidak dengan dokter,” katanya.
Baca juga: IDI dan tujuh organisasi profesi deklarasikan komitmen cegah stunting
Baca juga: IDI: Dokter umum berperan penting tekan tingginya angka kematian ibu
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2023
Tags: