Khan Younis, Gaza (ANTARA) - Sejumlah bocah di Gaza hanya bisa menggunakan gerobak yang ditarik keledai untuk mengantarkan mereka ke sekolah.

Anak-anak di jalur Gaza dihadapkan pada kondisi yang sulit untuk pergi ke sekolah karena kondisi jalanan yang padat, berlubang, dan tercemar polusi.

Meski demikian, sejumlah anak terpaksa harus menaiki kereta keledai untuk pergi ke sekolah karena beragam alasan.

Setiap pagi, Loay Abu Sahlou akan bersiul tiga kali untuk memanggil para penumpangnya, yang kebanyakan anak-anak prasekolah, di rumah mereka di kamp pengungsian Khan Younis. Terkadang, ada 15 anak yang menaiki keretanya.

Kendati lambat, kereta keledai menjadi salah satu alternatif bagi mereka yang ingin pergi ke sekolah, tetapi tinggal terlalu jauh, belum cukup umur untuk bepergian dengan jalan kaki, dan tidak mampu membayar ongkos bus.

Meski penghasilan menjadi kusir kereta keledai sangat kecil, Abu Sahloul mengatakan bahwa dia tidak punya pilihan lain sehingga menjadi pengemudi keledai adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakoni karena kondisi neurologis dialaminya.

Dia menganggap pekerjaan itu sebagai bentuk pengabdian masyarakat.

"Keluarga-keluarga ini berada dalam kondisi keuangan yang sulit. Seluruh situasi di Gaza buruk," kata Abu Sahloul.

Dia memasang tarif lima shekel (sekitar Rp20 ribu) per bulan untuk setiap anak yang menggunakan jasanya.

Sementara itu, untuk menaiki bus sekolah membutuhkan biaya setidaknya 40 shekel (sekitar Rp167 ribu) per bulan.

Namun, kereta keledai cukup berbahaya karena anak-anak berpotensi terjatuh.

"Saya tidak mampu membiayai anak saya untuk menggunakan bus. Hati saya hancur setiap kali saya melihat dia dan anak-anak lain di atas gerobak," kata Intissar Al-Araj, salah satu orang tua yang menggunakan jasa Abu Sahloul.

"Ketika dia jatuh dari gerobak dan kakinya terluka, saya berdoa kepada Tuhan anak-anak saya suatu hari bisa naik bus," katanya.

Sumber: Reuters
Baca juga: UNRWA: Separuh anak-anak di Jalur Gaza butuh dukungan psikologis
Baca juga: Anak-anak di Gaza alami trauma karena serangan udara Israel
Baca juga: Dapur Indonesia sajikan makanan bergizi bagi anak sindrom down Gaza