Semarang (ANTARA) - Analis politik dari Universitas Diponegoro Dr. Teguh Yuwono menilai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU Republik Indonesia menunda pelaksanaan Pemilu 2024 dengan memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melampaui kewenangan lembaga peradilan.

“Kalau sampai PN memutuskan pemilu ditunda melebihi kewenangan dan itu tidak bisa dieksekusi. Bisa menunda pemilu atau tidak adalah perintah Presiden dan DPR, baru diatur dalam konstitusi negara,” katanya saat dihubungi ANTARA di Semarang, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa pemilu merupakan ranah konstitusi negara dan KPU hanya penyelenggara pemilu yang diamanatkan oleh konstitusi sehingga jika kemudian ada partai politik yang menggugat itu sebetulnya PN tidak berwenang memutuskan.

“Jadi pemilu ada atau tidak itu bukan persoalan tugas KPU, tapi itu tugas negara. Ranahnya konstitusi dan ranah politik,” ujar alumnus Flinders University Australia ini.

Menurut dia, pemilu menjadi urusan kenegaraan, maka yang bisa menyatakan pemilu berjalan atau tidak itu bukan KPU, namun konstitusi.

“Konstitusi itu ada di aturan KPU, aturan pemilu itu ada di konstitusi. Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali, jadi bukan penyelenggaranya yang digugat, tapi aturan pelaksanaan pemilu, mestinya yang digugat itu ada di konstitusi,” katanya.

Teguh menyebut konstitusi bisa digugat, tapi proses gugatan tidak di PN karena ada aturan bagaimana konstitusi diubah.

“Kalau mau menunda pemilu jalurnya bukan pengadilan seperti itu dengan menggugat KPU, jalurnya konstitusi negara,” tegasnya.

Partai Prima, lanjut dia, dinyatakan tidak lolos verifikasi KPU karena tidak mampu memenuhi persyaratan, sedangkan parpol lain bisa memenuhinya sehingga tidak kemudian berarti menunda pemilu.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.

"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari," ucap Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai Oyong, dikutip dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, diakses dari Jakarta, Kamis.

Baca juga: TII nilai hakim PN Jakpus salah terapkan hukum soal penundaan pemilu

Baca juga: Perludem nilai putusan PN Jakpus soal pemilu bertentangan dengan UUD