Dua wanita dibunuh suaminya, warganet kecam kebijakan nikah di China
2 Maret 2023 01:34 WIB
Arsip foto - Sepasang pengantin baru berpose untuk difoto di Hari Valentine di kantor pendaftaran pernikahan di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, China, 14 Februari 2023. ANTARA/China Daily via REUTERS/as/pri.
Beijing (ANTARA) - Dua kasus pembunuhan perempuan yang menyita perhatian belakangan ini telah memunculkan reaksi keras di media sosial China terkait kebijakan pemerintah yang gencar mempromosikan pernikahan.
Seorang perempuan berusia 24 tahun di pedesaan Provinsi Henan ditikam hingga tewas oleh suaminya setelah terlibat percekcokan pekan lalu. Otoritas setempat mengatakan bahwa pelaku telah ditangkap pada Senin.
Sementara itu di Hong Kong, seorang model sosialita berusia 28 tahun Abby Choi ditemukan tewas dimutilasi pekan lalu. Mantan suaminya dan dua anggota keluarga suaminya telah ditangkap atas dugaan melakukan pembunuhan itu.
Kedua kasus pembunuhan itu membuat banyak orang mempertanyakan seruan pemerintah China untuk menikah dan memiliki lebih banyak bayi guna mengimbangi krisis demografi di negara tersebut.
"Jika kamu tidak menikah, kamu dipukuli oleh pacarmu. Jika kamu menikah, kamu dihajar suamimu. Jika kamu bercerai, mantan suamimu memukulimu. Apa yang terjadi di dunia ini," tulis seorang warga dalam media sosial Weibo.
"Tidak menikah dan tidak memiliki anak memang yang paling aman," kata yang lainnya dalam sebuah unggahan.
Kemarahan dan Perdebatan
Gagasan tradisional tentang pernikahan dan kewajiban berkeluarga masih mengakar kuat di China.
Namun, banyak anak muda yang mulai mempertanyakan gagasan itu karena tingginya biaya mengasuh anak, dukungan yang tidak memadai bagi ibu-ibu pekerja, maupun keinginan setiap individu.
Kondisi itu terlihat dari meningkatnya angka perceraian.
Beberapa unggahan media sosial menyoroti sulitnya meninggalkan pernikahan yang penuh kekerasan setelah pemerintah China pada 2021 memberlakukan masa tenang wajib selama 30 hari bagi pasangan yang ingin bercerai.
China memiliki sekitar 722 juta laki-laki dan 690 juta perempuan. Kesenjangan ini membuat jutaan bujang terancam tidak dapat menikah.
Adapun populasi China tahun lalu turun untuk pertama kalinya dalam 60 tahun.
Kasus pembunuhan dua wanita itu menjadi insiden terbaru yang menimbulkan pertanyaan penuh kemarahan tentang perlakuan terhadap perempuan.
Publik sebelumnya juga dibuat marah oleh laporan tentang seorang ibu dengan delapan anak yang dirantai di sebuah gubuk di Provinsi Jiangsu.
Sebuah video yang tersebar luas tentang sekelompok pengunjung wanita yang dipukuli oleh beberapa pria di Kota Tangshan juga memicu kemarahan dan perdebatan tentang kekerasan terhadap wanita.
Insiden tersebut terjadi di masa yang sensitif bagi pemerintah, yang akhir pekan ini akan memulai sidang legislatif tahunan untuk memperkenalkan tim kepemimpinan baru di bawah Presiden Xi Jinping.
Pada saat-saat seperti itu, pihak berwenang biasanya sangat ingin menekan debat publik yang mungkin mengancam stabilitas sosial.
Pada Oktober lalu, China mengesahkan undang-undang yang bertujuan memberi perempuan perlindungan terhadap diskriminasi gender dan pelecehan seksual, meski undang-undang tersebut juga menyerukan kewajiban perempuan untuk menghormati nilai-nilai keluarga.
Undang-undang itu muncul ketika para aktivis menyatakan keprihatinan mereka tentang meningkatnya retorika pemerintah yang mempromosikan peran-peran perempuan tradisional, yang dipandang oleh sebagian orang sebagai kemunduran bagi hak-hak perempuan.
Sumber: Reuters
Baca juga: Perempuan ditemukan bunuh diri di permukiman "lockdown" di China
Baca juga: Keadilan penting untuk perkuat ketangguhan perempuan dalam konflik
Seorang perempuan berusia 24 tahun di pedesaan Provinsi Henan ditikam hingga tewas oleh suaminya setelah terlibat percekcokan pekan lalu. Otoritas setempat mengatakan bahwa pelaku telah ditangkap pada Senin.
Sementara itu di Hong Kong, seorang model sosialita berusia 28 tahun Abby Choi ditemukan tewas dimutilasi pekan lalu. Mantan suaminya dan dua anggota keluarga suaminya telah ditangkap atas dugaan melakukan pembunuhan itu.
Kedua kasus pembunuhan itu membuat banyak orang mempertanyakan seruan pemerintah China untuk menikah dan memiliki lebih banyak bayi guna mengimbangi krisis demografi di negara tersebut.
"Jika kamu tidak menikah, kamu dipukuli oleh pacarmu. Jika kamu menikah, kamu dihajar suamimu. Jika kamu bercerai, mantan suamimu memukulimu. Apa yang terjadi di dunia ini," tulis seorang warga dalam media sosial Weibo.
"Tidak menikah dan tidak memiliki anak memang yang paling aman," kata yang lainnya dalam sebuah unggahan.
Kemarahan dan Perdebatan
Gagasan tradisional tentang pernikahan dan kewajiban berkeluarga masih mengakar kuat di China.
Namun, banyak anak muda yang mulai mempertanyakan gagasan itu karena tingginya biaya mengasuh anak, dukungan yang tidak memadai bagi ibu-ibu pekerja, maupun keinginan setiap individu.
Kondisi itu terlihat dari meningkatnya angka perceraian.
Beberapa unggahan media sosial menyoroti sulitnya meninggalkan pernikahan yang penuh kekerasan setelah pemerintah China pada 2021 memberlakukan masa tenang wajib selama 30 hari bagi pasangan yang ingin bercerai.
China memiliki sekitar 722 juta laki-laki dan 690 juta perempuan. Kesenjangan ini membuat jutaan bujang terancam tidak dapat menikah.
Adapun populasi China tahun lalu turun untuk pertama kalinya dalam 60 tahun.
Kasus pembunuhan dua wanita itu menjadi insiden terbaru yang menimbulkan pertanyaan penuh kemarahan tentang perlakuan terhadap perempuan.
Publik sebelumnya juga dibuat marah oleh laporan tentang seorang ibu dengan delapan anak yang dirantai di sebuah gubuk di Provinsi Jiangsu.
Sebuah video yang tersebar luas tentang sekelompok pengunjung wanita yang dipukuli oleh beberapa pria di Kota Tangshan juga memicu kemarahan dan perdebatan tentang kekerasan terhadap wanita.
Insiden tersebut terjadi di masa yang sensitif bagi pemerintah, yang akhir pekan ini akan memulai sidang legislatif tahunan untuk memperkenalkan tim kepemimpinan baru di bawah Presiden Xi Jinping.
Pada saat-saat seperti itu, pihak berwenang biasanya sangat ingin menekan debat publik yang mungkin mengancam stabilitas sosial.
Pada Oktober lalu, China mengesahkan undang-undang yang bertujuan memberi perempuan perlindungan terhadap diskriminasi gender dan pelecehan seksual, meski undang-undang tersebut juga menyerukan kewajiban perempuan untuk menghormati nilai-nilai keluarga.
Undang-undang itu muncul ketika para aktivis menyatakan keprihatinan mereka tentang meningkatnya retorika pemerintah yang mempromosikan peran-peran perempuan tradisional, yang dipandang oleh sebagian orang sebagai kemunduran bagi hak-hak perempuan.
Sumber: Reuters
Baca juga: Perempuan ditemukan bunuh diri di permukiman "lockdown" di China
Baca juga: Keadilan penting untuk perkuat ketangguhan perempuan dalam konflik
Penerjemah: Shofi Ayudiana
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023
Tags: