Menteri LHK minta pemangku kebijakan waspadai praktik greenwashing
1 Maret 2023 17:20 WIB
Ilustrasi - Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar (kiri) pada penyerahan Piala Adipura 2022 kepada Bupati Situbondo Karna Suwandi di Jakarta. Selasa (28/2/2023). ANTARA/HO-Humas Pemkab Situbondo
Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar meminta para pemangku kebijakan atau stakeholders untuk mewaspadai praktik greenwashing mengingat banyak negara maju dan sektor swasta berminat membeli karbon dari hutan Indonesia.
"Banyak negara maju dan sektor swasta juga terus berminat untuk membeli karbon dari hutan Indonesia, karena dianggap lebih murah dibandingkan dengan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca sendiri. Pada konteks ini, kita perlu berhati-hati," ujarnya dalam rapat kerja teknis nasional tentang pengendalian perubahan iklim di Jakarta, Rabu.
Greenwashing adalah istilah dalam strategi komunikasi atau pemasaran untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Menteri Siti mendorong para pemangku kepentingan yang bekerja pada sektor kehutanan untuk mendahulukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca secara langsung serta tidak menjadi alat greenwashing.
Baca juga: Berbagai perusahaan tangkal tudingan "greenwashing" yang memalukan lewat layanan Komunikasi tentang Isu Keberlanjutan
Baca juga: "Greenwashing" kelewat batas dalam isu mikroplastik kemasan pangan
Ia memandang pelaku greenwashing masih tetap melakukan aktivitas bisnis mereka yang menghasilkan banyak karbon karena beranggapan mudah membeli karbon dari sektor kehutanan.
Apalagi Indonesia yang mempunyai hutan luas, terutama di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua harus meningkatkan kewaspadaan terhadap praktik greenwashing tersebut.
Kementerian LHK telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi praktik greenwashing di Indonesia, di antaranya pencatatan semua aktivitas pengurangan emisi melalui Sistem Registri Nasional (SRN). Melalui sistem itu, setiap kegiatan mesti dilaporkan sebagai bentuk kontribusi dalam upaya meningkatkan ketahanan nasional dan mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 Celsius.
Selain itu, fokus terhadap target pengurangan emisi terlebih dahulu yang tertuang dalam target nationally determined contribution (NDC).
NDC merupakan dokumen yang memuat rencana aksi iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Pada 2022, Indonesia menyampaikan enhanced NDC dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen jika terdapat bantuan internasional.
Tak hanya itu, Kementerian LHK juga menerapkan monitoring, reporting, dan verification (MRV), mengontrol international recognize Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), serta menerbitkan Sertifikasi Penurunan Emisi (SPE) juga sebagai bagian dari langkah-langkah perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.*
Baca juga: Riset: Konsumen Indonesia semakin lebih sadar lingkungan
Baca juga: Hati-hati "greenwashing", mulailah kritis sebelum membeli
"Banyak negara maju dan sektor swasta juga terus berminat untuk membeli karbon dari hutan Indonesia, karena dianggap lebih murah dibandingkan dengan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca sendiri. Pada konteks ini, kita perlu berhati-hati," ujarnya dalam rapat kerja teknis nasional tentang pengendalian perubahan iklim di Jakarta, Rabu.
Greenwashing adalah istilah dalam strategi komunikasi atau pemasaran untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Menteri Siti mendorong para pemangku kepentingan yang bekerja pada sektor kehutanan untuk mendahulukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca secara langsung serta tidak menjadi alat greenwashing.
Baca juga: Berbagai perusahaan tangkal tudingan "greenwashing" yang memalukan lewat layanan Komunikasi tentang Isu Keberlanjutan
Baca juga: "Greenwashing" kelewat batas dalam isu mikroplastik kemasan pangan
Ia memandang pelaku greenwashing masih tetap melakukan aktivitas bisnis mereka yang menghasilkan banyak karbon karena beranggapan mudah membeli karbon dari sektor kehutanan.
Apalagi Indonesia yang mempunyai hutan luas, terutama di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua harus meningkatkan kewaspadaan terhadap praktik greenwashing tersebut.
Kementerian LHK telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi praktik greenwashing di Indonesia, di antaranya pencatatan semua aktivitas pengurangan emisi melalui Sistem Registri Nasional (SRN). Melalui sistem itu, setiap kegiatan mesti dilaporkan sebagai bentuk kontribusi dalam upaya meningkatkan ketahanan nasional dan mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 Celsius.
Selain itu, fokus terhadap target pengurangan emisi terlebih dahulu yang tertuang dalam target nationally determined contribution (NDC).
NDC merupakan dokumen yang memuat rencana aksi iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Pada 2022, Indonesia menyampaikan enhanced NDC dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen jika terdapat bantuan internasional.
Tak hanya itu, Kementerian LHK juga menerapkan monitoring, reporting, dan verification (MRV), mengontrol international recognize Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), serta menerbitkan Sertifikasi Penurunan Emisi (SPE) juga sebagai bagian dari langkah-langkah perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.*
Baca juga: Riset: Konsumen Indonesia semakin lebih sadar lingkungan
Baca juga: Hati-hati "greenwashing", mulailah kritis sebelum membeli
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023
Tags: