Semarang (ANTARA) - Pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan bahwa semua pihak semestinya menjaga Mahkamah Konstitusi agar tidak mencampuri ranah yang menjadi wilayah pembentuk undang-undang dalam memutuskan pilihan sistem pemilu.

"Mestinya kita dorong bersama adalah independensi dan kemerdekaan MK dalam memutus," kata Titi Anggraini yang juga anggota Dewan Pembina Perludem menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Selasa.

Mahkamah Konstitusi (MK), lanjut dia, sebaiknya fokus dalam memberikan rambu-rambu atau indikator bagi pembentuk undang-undang agar mampu mengevaluasi dan membuat pilihan sistem pemilu secara demokratis dan inklusif serta mampu memperkuat fondasi demokrasi konstitusional di Indonesia.

Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem mengutarakan bahwa pengujian norma undang-undang pemilu ke MK adalah prosedur biasa. Dalam hal ini warga negara memang punya hak konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal itu dikemukakan terkait dengan pengujian Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Baca juga: Titi: Perlu penempatan lebih banyak perempuan pada nomor urut 1
Baca juga: Titi: Tidak ada alasan putusan MK tunda Pemilu 2024


Hanya saja, lanjut Titi, hal itu menjadi kontroversial karena analisis atau spekulasi atas hasil pengujian sistem pemilu ini yang jadi ramai karena bisa berdampak pada masa depan partai politik dan eksistensi mereka dalam pemenangan pemilu.

"Jadi, saya tidak ingin berandai-andai bahwa sistem pemilu pada tahun 2024 adalah sistem pemilu proporsional tertutup," katanya ketika merespons jika putusan MK mengabulkan pemohon uji materi UU Pemilu terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Menjawab apakah sistem proporsional tertutup secara otomatis metode sainte lague tidak berlaku, Titi mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka ataupun tertutup bisa menggunakan metode tersebut.

Pegiat pemilu ini menuturkan bahwa metode sainte lague tidak berkaitan dengan penentuan calon yang akan menduduki kursi terpilih. Metode ini untuk mengonversi suara partai menjadi perolehan kursi.

Kendati demikian, berdasarkan evaluasi Pemilu 2019 dan pemilu sebelumnya, menurut dia, sistem pemilu di Indonesia membutuhkan evaluasi. Hal ini karena sistem pemilu mencakup sejumlah variabel yang memengaruhi konversi suara menjadi kursi, bukan hanya soal pilih partai atau pilih orang.

Titi menyebutkan pula bahwa keserentakan pemilu juga bagian dari variabel penunjang sistem pemilu. Akan tetapi, evaluasi itu tidak bisa dilakukan tergesa-gesa, apalagi saat tahapan pemilu sudah berjalan dalam desain sistem pemilu proporsional terbuka, sebagaimana aturan main dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.