Sidang ke-52 Dewan HAM PBB itu bertepatan dengan Peringatan 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
"Peringatan 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia harus jadi momentum untuk memperteguh komitmen terhadap penegakan HAM," kata Menlu Retno, seperti dikutip dalam keterangan Kementerian Luar Negeri RI, Selasa.
"Dan tidak boleh membuat perhatian terhadap kondisi HAM dunia menjadi terpecah," katanya, menambahkan.
Meski selama ini Deklarasi Universal HAM tersebut terus menginspirasi transformasi menuju dunia yang lebih adil, setara, dan inklusif, Menlu Retno menyampaikan pentingnya kerja sama yang erat untuk mewujudkan hal tersebut.
"Pertanyaannya sekarang adalah apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan berdiam diri dan acuh? Atau ... kita akan bekerja keras secara bersama-sama ... dan melakukan hal yang lebih baik lagi?," ujar Retno.
Untuk itu, Menlu RI menyarankan tiga hal yang perlu menjadi fokus semua negara dalam kerja sama penguatan HAM.
Pertama, Menlu Retno mendorong semua negara untuk melakukan aksi nyata untuk kemanusiaan.
Dia menekankan bahwa perang dan konflik harus dihentikan karena hanya menyengsarakan umat manusia. Karenanya, solusi damai harus terus dikedepankan, termasuk di Palestina, Afghanistan, Myanmar, dan Ukraina.
"Kita tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan saudara kita di Palestina. Insiden di Huwara menunjukkan situasi HAM dan kemanusiaan di Palestina kian memburuk," tuturnya.
Menlu Retno juga menyampaikan bahwa hak perempuan dan anak perempuan juga tidak boleh diabaikan, termasuk di Afghanistan.
Terkait isu Myanmar, ia menyampaikan bahwa Indonesia sebagai Ketua ASEAN akan terus mengupayakan komunikasi dengan semua pihak terkait untuk mendorong dialog nasional yang inklusif, katanya.
Kedua, Menlu RI mendorong peningkatan upaya pencegahan pelanggaran HAM.
Retno mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan afirmatif, akses setara terhadap kesempatan dan sumber daya, dan mekanisme untuk mencari keadilan bagi para korban.
Selanjutnya, Menlu RI juga menggarisbawahi pentingnya mengakui kesalahan dan pelanggaran HAM masa lalu untuk mencegah praktik yang sama terjadi pada masa depan.
Terkait aspek tersebut, ia menuturkan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk merehabilitasi korban tanpa mengesampingkan penyelesaian hukum.
"Tahun ini Presiden Joko Widodo telah mengakui dan menyesali 12 insiden pelanggaran HAM masa lalu," ungkap Retno.
Dia juga menekankan bahwa keberanian untuk mengakui adalah hal yang krusial untuk penghormatan HAM yang lebih baik, dan Indonesia telah mempraktikkan keberanian tersebut.
Ketiga, Menlu Retno pada sidang Dewan HAM PBB itu juga mendorong upaya untuk memperkuat arsitektur HAM.
Menurut Retno, Dewan HAM PBB harus beradaptasi dengan tantangan HAM terkini dan terus berbenah diri.
"Imparsialitas, transparansi, dan dialog harus menjadi 'roh' utama Dewan HAM. Kita harus terus menjaga Dewan HAM dari politisasi dan digunakannya Dewan HAM sebagai alat rivalitas geopolitik," ujarnya.
Di kawasan, kata Retno, Indonesia terus berupaya memperkuat mekanisme HAM.
Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia menyatakan akan memperkuat mandat Komisi HAM ASEAN, Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak ASEAN, serta melembagakan dialog HAM kawasan.
Baca juga: Menlu sampaikan pencalonan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB
Baca juga: Indonesia serukan aksi nyata dorong perlucutan senjata nuklir