Jakarta (ANTARA) - Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan sejumlah strategi yang dapat dilakukan terkait dengan dekarbonisasi di sektor transportasi darat.

"Ada strategi 'avoid', 'shift', and 'improve' yang cukup terkenal untuk melakukan dekarbonisasi kendaraan-kendaraan darat," kata peneliti IESR Faris Adnan Padhilah dalam laporan "Indonesia Electric Vehicle Outlook" (IEVO) 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.

Strategi "avoid", kata dia, berkaitan dengan "travel demand management" atau mengurangi jarak tempuh manusia.

"Salah satu kebijakan yang cukup terkenal adalah kebijakan WFH (work from home) atau seperti 'compact city', jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kita hanya cukup berjalan sekitar 15 menit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Faris.

Selanjutnya, strategi shift yang berarti berpindah menggunakan kendaraan yang lebih rendah emisi.

"Dan yang terakhir adalah 'improve', 'improve' adalah meningkatkan efisiensi energi dari kendaraan yang kita gunakan," kata dia.

Baca juga: IESR dorong Indonesia agar lebih ambisius susun target NDC II

Baca juga: IESR: Kenaikan suhu global berdampak terhadap rusaknya terumbu karang


Tidak seperti "avoid" and "shift" yang memerlukan perencanaan detil oleh pemerintah, ia mengatakan strategi perbaikan justru mengajak masyarakat untuk bisa mengambil bagian dalam deklarasi dekarbonisasi transportasi darat.

"Salah satu contohnya adalah transisi dari kendaraan bensin ke kendaraan listrik di penyedia 'ride hailing' di suatu perusahaan mengungkapkan bahwa dalam satu bulan mereka bisa menghemat biaya operasional sebesar Rp700.000," ujar Faris.

Dari penelitian IESR, ia pun mengungkapkan baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat listrik memiliki emisi lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar.

"Dengan kendaraan listrik, emisinya lebih rendah 18 persen untuk kendaraan roda dua dan untuk kendaraan roda empat 25 persen," tuturnya.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa sektor transportasi merupakan salah satu sektor yang menjadi penyumbang emisi terbesar, selain sektor energi.

"Ternyata kalau kita lihat data dari KLHK pada 2021, sektor energi Indonesia menghasilkan emisi sekitar 600 juta ton CO2 yang mayoritas memang dihasilkan dari sektor pembangkit energi. Sektor yang kedua terbesar adalah sektor transportasi. 90 persen emisi yang dihasilkan dari sektor transportasi berasal dr transportasi darat," ujar Faris.

IESR dalam laporan IEVO 2023 juga mencatat ketergantungan terhadap impor bahan bakar telah memicu terjadinya inflasi pada akhir tahun 2022 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Konsumsi BBM meningkat rata-rata 1,2 juta kiloliter per tahun antara 2015 hingga 2020.

"Itu lah pentingnya kita lakukan dekarbonisasi di transportasi darat, yang pertama untuk mengurangi emisinya karena transportasi darat adalah sektor kedua terbesar yang menghasilkan (emisi) dan yang kedua mengurangi ketergantungan kita terhadap bahan bakar yang diimpor," kata Faris.

Baca juga: IESR: Pemberdayaan energi terbarukan Persetujuan Paris dapat dilakukan

Baca juga: Menteri ESDM tegaskan komitmen dukung target pengurangan emisi