"Gunung api yang berada di Pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan subduksi yang ada di selatannya. Subduksi dimulai kurang lebih sejak 55 juta tahun lalu sehingga menghasilkan magmatisme yang kemudian muncul ke permukaan sebagai gunung api yang terbentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur," kata Dr Mirzam dalam keterangan tertulis Humas ITB, Sabtu.
Baca juga: Badan Geospasial kaji usulan nama temuan gunung bawah laut di Pacitan
Dr. Mirzam mengatakan secara sederhana orang akan berpikir bahwa gunung api akan selalu memanjang dari barat ke timur namun, distribusi gunung api tersebut tidak sepenuhnya membentuk garis lurus.Baca juga: Badan Geospasial kaji usulan nama temuan gunung bawah laut di Pacitan
"Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dari kondisi zona subduksi di selatan Pulau Jawa," kata dia.
Baca juga: Pushidrosal temukan gunung di perairan menuju Banda
Kompleksitas ini berasal dari beberapa hal seperti laju subduksi yang mencapai 6,7 hingga 7 cm/tahun, perbedaan umur lempeng yang memasuki tiga bagian Pulau Jawa, hingga komposisi kerak lapisan terluar Pulau Jawa yang berbeda.Baca juga: Pushidrosal temukan gunung di perairan menuju Banda
Selain itu, terdapat hal menarik yang disebut Roo Rise atau oceanic plateu dengan dimensi luas 25.000 km2 dengan ketebalan rata-rata 15 km.
Hal tersebut menyebabkan palung mundur ke arah utara sejauh 60 km. Mundurnya palung ini merupakan akibat dari masuknya roo rise ke Palung Jawa sejak 1,1 atau 1,3 juta tahun lalu.
Baca juga: Pemkab Lembata imbau warga waspada erupsi gunung api bawah laut
Baca juga: Pemkab Lembata imbau warga waspada erupsi gunung api bawah laut
Selain itu, lanjut dia, masuknya roo rise ke palung menimbulkan gangguan yang memunculkan tonjolan dari Jawa Timur hingga selatan Lombok yang diinterpretasikan sebagai gunung bawah laut. “Nah, jadi yang sedang hangat dibicarain itu adalah nomor 4,” ujar Dr. Mirzam.
Sebenarnya terdapat lebih dari satu tonjolan dan jika diperhatikan lebih teliti terdapat 5-10 tonjolan. Mengejutkannya, beliau menjelaskan bahwa gunung api ini sudah diidentifikasi sejak lama.
“Sebenarnya tonjolan-tonjolan ini udah teridentifikasi sejak 2006 silam,” ujar Dr Mirzam yang juga Kaprodi Magister Doktor Teknik Geologi tersebut.
Baca juga: PVBMG : Letusan gunung api bawah laut dapat berdampak tsunami
Dr. Mirzam menyimpulkan, kemunculan gunung api di selatan Pacitan ini merupakan efek kompleksitas zona subduksi di selatan seperti komponen yang tidak homogen, perbedaan umur lempeng, dan roo rise yang mengganjal hingga timbulnya gangguan.Sebenarnya terdapat lebih dari satu tonjolan dan jika diperhatikan lebih teliti terdapat 5-10 tonjolan. Mengejutkannya, beliau menjelaskan bahwa gunung api ini sudah diidentifikasi sejak lama.
“Sebenarnya tonjolan-tonjolan ini udah teridentifikasi sejak 2006 silam,” ujar Dr Mirzam yang juga Kaprodi Magister Doktor Teknik Geologi tersebut.
Baca juga: PVBMG : Letusan gunung api bawah laut dapat berdampak tsunami
Jika dianalisis lebih dekat, roo rise yang masuk ke dalam palung akan terkerat sebagian.
Sebagian slab yang bertemu lempeng di pulau Jawa akan menimbulkan buoyant roo rise fragment yang akan menimbulkan tonjolan dan sebagian slab masuk ke dalam.
Baca juga: Lima Gunung Api Bawah Laut Tidak Membahayakan
Sebagian slab yang masuk akan menentukan bahaya atau tidaknya gunung tersebut.Baca juga: Lima Gunung Api Bawah Laut Tidak Membahayakan
Ia menuturkan bahwa slab yang masuk masih cukup dangkal (10-15 km) sehingga menyebabkan potensi "gunung api" ini tidak seperti potensi gunung api yang aktif di Pulau Jawa pada umumnya.
"Slab yang masuk baru mulai meleleh itu bukan pada kedalaman 10-15 km. Ini bukan tempat yang ideal. Kedalaman ideal lempeng samudera meleleh pada kedalam 120-180 km seperti gunung di Pulau Jawa lainnya," katanya.
Baca juga: BMKG Tak Temukan Gunung Api Raksasa Bawah Laut Bengkulu
Ciri-ciri yang menunjukkan gunung api seperti adanya panas merupakan akibat dari tumbukan dua buah lempeng di zona akresi.Baca juga: BMKG Tak Temukan Gunung Api Raksasa Bawah Laut Bengkulu
"Jadi secara teoritis, harusnya itu posisinya bukan gunung api yang definitif kita pelajari, tapi ini morfologinya seperti kerucut gunung api, karena tadi adanya gangguan, panasnya dari collision tumbukan yang menghasilkan panas," katanya
Untuk memonitor agar kejadian ini bisa dihindari, dibutuhkan kolaborasi antar disiplin ilmu.
Dia berharap ITB dan civitas akademika di Indonesia dapat mengambil peran dan tidak menyerahkan semua hal terkait isu kebencanaan dari hulu ke hilir ke pemerintah.