Indonesia dorong dialog global etika pemanfaatan AI dalam militer
17 Februari 2023 08:54 WIB
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto menyampaikan pandangan singkat Indonesia dalam sesi penutupan Konferensi mengenai Kecerdasan Buatan yang Bertanggung Jawab dalam Militer (REAIM 2023) di Den Haag, Kamis (16/2/2023). ANTARA/Sri Haryati/am.
Den Haag (ANTARA) - Indonesia akan mendorong dialog para pihak secara global untuk membicarakan kerangka etika pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam militer.
Kerangka etika tersebut mempertimbangkan karakteristik unik kecerdasan buatan dan potensinya dalam menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto.
"Indonesia akan terus terlibat dalam forum global yang mencoba memperkuat pendekatan untuk pengembangan AI yang bertanggung jawab di bidang militer," kata Andi, Kamis, dalam sesi penutupan konferensi pengembangan AI bertanggungjawab dalam militer (REAIM 2023) yang digelar oleh Pemerintah Belanda di Den Haag.
Dalam sesi tersebut setiap negara peserta mendapat kesempatan selama tiga menit untuk menyampaikan pandangan akhirnya.
Konferensi yang digelar pada 15-16 Februari tersebut diikuti ratusan peserta dari 70 negara.
Konferensi ini menghasilkan Seruan Aksi yang ditandatangani oleh 61 negara, termasuk Indonesia, China dan Amerika Serikat.
Baca juga: Amnesty International garisbawahi tiga poin pengaturan AI di militer
Perkembangan AI, kata Andi, akan mengubah drastis peperangan dan mendorong revolusi militer.
"Apakah revolusi ini akan menghadirkan senjata penting, senjata sempurna yang menjamin kemenangan atau menawarkan platform baru yang membuat perang tidak bisa dimenangi. Perang menjadi ketinggalan zaman," kata dia.
Menurut Andi, sistem otonomi menciptakan risiko bahwa pemimpin akan memilih menggunakan senjata otonom dibandingkan dengan penyelesaian non-militer. Dalam hal ini, batasan untuk melakukan aksi militer akan lebih rendah.
Jika senjata otonom semakin sering digunakan, maka akan ada risiko aksi militer semakin cepat diputuskan sehingga mempersempit ruang untuk negosiasi diplomatik.
Andi juga memperingatkan adanya risiko teknologi ini bisa diakses oleh berbagai pihak, termasuk kelompok teroris, mengingat rendahnya biaya yang diperlukan untuk mengembangkan platform kecerdasan buatan.
"Perkembangan kecerdasan buatan dalam militer menimbulkan berbagai risiko yang harus dihadapi, termasuk risiko etika," kata dia.
Baca juga: Lemhannas: AWS kekhawatiran utama dalam pengembangan AI di militer
Kerangka etika tersebut mempertimbangkan karakteristik unik kecerdasan buatan dan potensinya dalam menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto.
"Indonesia akan terus terlibat dalam forum global yang mencoba memperkuat pendekatan untuk pengembangan AI yang bertanggung jawab di bidang militer," kata Andi, Kamis, dalam sesi penutupan konferensi pengembangan AI bertanggungjawab dalam militer (REAIM 2023) yang digelar oleh Pemerintah Belanda di Den Haag.
Dalam sesi tersebut setiap negara peserta mendapat kesempatan selama tiga menit untuk menyampaikan pandangan akhirnya.
Konferensi yang digelar pada 15-16 Februari tersebut diikuti ratusan peserta dari 70 negara.
Konferensi ini menghasilkan Seruan Aksi yang ditandatangani oleh 61 negara, termasuk Indonesia, China dan Amerika Serikat.
Baca juga: Amnesty International garisbawahi tiga poin pengaturan AI di militer
Perkembangan AI, kata Andi, akan mengubah drastis peperangan dan mendorong revolusi militer.
"Apakah revolusi ini akan menghadirkan senjata penting, senjata sempurna yang menjamin kemenangan atau menawarkan platform baru yang membuat perang tidak bisa dimenangi. Perang menjadi ketinggalan zaman," kata dia.
Menurut Andi, sistem otonomi menciptakan risiko bahwa pemimpin akan memilih menggunakan senjata otonom dibandingkan dengan penyelesaian non-militer. Dalam hal ini, batasan untuk melakukan aksi militer akan lebih rendah.
Jika senjata otonom semakin sering digunakan, maka akan ada risiko aksi militer semakin cepat diputuskan sehingga mempersempit ruang untuk negosiasi diplomatik.
Andi juga memperingatkan adanya risiko teknologi ini bisa diakses oleh berbagai pihak, termasuk kelompok teroris, mengingat rendahnya biaya yang diperlukan untuk mengembangkan platform kecerdasan buatan.
"Perkembangan kecerdasan buatan dalam militer menimbulkan berbagai risiko yang harus dihadapi, termasuk risiko etika," kata dia.
Baca juga: Lemhannas: AWS kekhawatiran utama dalam pengembangan AI di militer
Pewarta: Sri Haryati
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023
Tags: