Jakarta (ANTARA) - Penantian panjang masyarakat di Tanah Air terkait hukuman yang akan dijatuhkan majelis hakim kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, akhirnya terjawab sudah.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahyu Iman Santoso mengetok palu dengan memvonis Richard Eliezer Pudihang Lumiu selama 1 tahun 6 bulan penjara.

Mantan anak buah Ferdy Sambo tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Vonis Hakim Wahyu Iman Santoso tersebut jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang memohon majelis hakim menghukum Eliezer 12 tahun bui.

Di balik vonis yang dinilai banyak pihak sudah mencerminkan rasa keadilan tersebut ada lembaga negara yang berperan penting, krusial, dan menentukan perjalanan panjang kasus yang menghebohkan masyarakat di Tanah Air tersebut.

Instansi negara yang berperan besar tersebut ialah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dikomandoi Hasto Atmojo Suroyo bersama Edwin Partogi Pasaribu, Achmadi, Antonius PS Wibowo, Livia Istania DF Iskandar, Maneger Nasution, dan Susilaningtyas.

Ketujuh pimpinan LPSK tersebut bersama jajarannya berjibaku tanpa mengenal lelah untuk melindungi dan menjaga hak-hak Richard Eliezer sebagai penguak fakta agar tidak dilanggar.

"Kita semua patut bersyukur. Ini artinya (LPSK) membuat sejarah terutama bagi keberadaan justice collaborator," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

Kerja keras LPSK memang layak diacungi jempol mengingat sejak pertama kali atau bahkan sebelum Bharada E mengajukan perlindungan justice collaborator, lembaga tersebut mendapat ujian yang cukup berat.

Ujian pertama yakni ketika tim dari LPSK mendatangi kantor Ferdy Sambo yang kala itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Kedatangan LPSK dimaksudkan membicarakan perihal Putri Candrawathi yang meminta perlindungan ke lembaga tersebut.

Kala itu, tim dari LPSK diberikan sebuah amplop yang hingga kini isinya tidak pernah diketahui karena lebih dulu ditolak mentah-mentah oleh LPSK. Lembaga tersebut tampaknya menyadari betul, kalau saja amplop itu diterima maka cerita tentang Eliezer yang hari ini divonis 1,5 tahun penjara itu bisa saja jadi isapan jempol belaka.

Tidak itu saja, LPSK juga kesulitan untuk menggali keterangan lebih jauh kepada Putri Candrawathi yang pada saat itu belum menyandang status tersangka. Istri Ferdy Sambo tersebut sempat mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK namun pada akhirnya ditolak karena Putri cenderung enggan dan sulit berkomunikasi atau kurang kooperatif dengan tim LPSK yang akan melakukan asesmen.

Harapan baru

Ketua LPSK berpandangan langkah yang diambil hakim menjadi sebuah harapan bagi penegakan hukum yang lebih baik di Tanah Air khususnya yang menyangkut justice collaborator.

Vonis sang penguak fakta itu seakan menjadi wahana sosialisasi bagi siapa saja utamanya untuk kepentingan yang jauh lebih besar.

Hasto berpandangan bahwa pertimbangan justice collaborator oleh hakim bisa membuat suatu kasus besar di kemudian hari terungkap lebih jelas, cepat, dan dibuktikan di persidangan melalui bantuan saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

"Ini adalah paradigma baru dalam sistem peradilan pidana kita," ujar dia.

Sebelum Hakim Wahyu Iman Santoso mengetok palu, LPSK sejatinya berharap majelis hakim bisa memberikan hukuman dalam bentuk "penghargaan" kepada seseorang yang berstatus sebagai justice collaborator.

Kelima terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J telah divonis hakim dengan rincian Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati, Putri Candrawathi dihukum 20 tahun kurungan penjara, Kuat Maruf 15 tahun, 13 tahun bagi Ricky Rizal Wibowo, serta 1,5 tahun penjara untuk vonis Richard Eliezer.

Kendati demikian, vonis tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Masing-masing terdakwa, termasuk jaksa penuntut umum, masih mempunyai peluang mengajukan banding atas putusan majelis hakim.

Khusus untuk Bharada E, LPSK berharap jaksa penuntut umum tidak mengajukan banding. Alasannya, LPSK memandang rasa keadilan untuk Eliezer sudah terpenuhi.

Akan tetapi, LPSK menegaskan pada prinsipnya lembaga tersebut akan tetap menghormati apa pun yang akan ditempuh oleh jaksa. Sebab, hal itu merupakan hak atau kewenangan yang dimilikinya.

Pada saat yang sama, LPSK mengaku bahagia karena kredibilitas lembaga tersebut secara tidak langsung bisa dikatakan teruji karena bisa menjalankan amanat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Rutan justice collaborator

Salah satu kendala atau tantangan yang harus dilalui LPSK selama mengawal Richard Eliezer sebagai justice collaborator ialah terkait penempatannya di Rutan Bareskrim. Hal itu sedikit banyak cukup menyita tenaga karena harus berkoordinasi dengan Bareskrim.

Meskipun selama ini Bareskrim menunjukkan sikap kolaboratif, LPSK memandang lembaga tersebut ke depannya tetap memerlukan atau memiliki rutan khusus yang diperuntukkan bagi tersangka atau tahanan yang menyandang status justice collaborator.

Tujuannya agar saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat hukum tersebut tidak tergabung dengan tersangka lain serta demi menghindari adanya konflik kepentingan selama proses hukum berjalan.

Dorongan agar dibangunnya rutan khusus bagi tersangka justice collaborator juga dilatarbelakangi kondisi rutan di Indonesia yang sudah penuh dan sesak atau melebihi ambang batas kapasitas hunian normal.

Saat ini LPSK sedang melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Komisi III DPR RI agar rutan khusus bagi justice collaborator bisa segera dibangun atau diwujudkan.

Pascavonis yang dijatuhkan majelis hakim, LPSK memastikan akan terus mengawal dan melindungi Bharada E hingga yang bersangkutan masuk ke lembaga pemasyarakatan (lapas).

LPSK menyadari capaian sejarah tersendiri terkait Bharada E selaku justice collaborator tidak lepas dari bantuan pihak-pihak yang berperan dalam amicus curiae sebagai pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis bagi Richard.

Tegaknya keadilan

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Profesor Faisal Santiago berpandangan bahwa hukuman 1 tahun 6 bulan untuk Richard telah mencerminkan rasa keadilan.

Ia menilai status Richard sebagai justice collaborator menjadi pertimbangan bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan vonis. Dengan status yang disandangnya, membuat kasus pembunuhan yang terjadi pada 8 Juli 2022 di Rumah Dinas Ferdy Sambo Kompleks Duren Tiga itu menjadi lebih terang-benderang.

Di samping itu, pihak keluarga korban (Brigadir J) juga telah memaafkan Bharada E kendati yang bersangkutan telah menghilangkan nyawa Yosua dengan melepaskan timah panas.

Faisal menduga maaf yang diberikan keluarga Yosua juga tidak lepas dari relasi kuasa yang ditunjukkan Ferdy Sambo yang notabene adalah jenderal bintang dua. Sementara, Richard Eliezer merupakan anggota Polri dengan pangkat paling rendah.

Artinya, dapat disimpulkan bahwa relasi kuasa yang begitu kental atau kuat membuat Richard Eliezer tidak mampu melawan perintah atasannya meskipun menyadari hal tersebut adalah salah.

Senada dengan itu, dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai putusan hakim atas Bharada E menjaga keseimbangan, bijaksana, menjadi edukasi hukum, serta membangun kesadaran bagi anak buah untuk berani melawan perintah atasan yang keliru.

Hakim dinilai bijaksana dan menjaga keseimbangan antara perbuatan dalam memutuskan lama pemidanaan terhadap Bharada E mengingat kedudukan dan fungsinya yang bekerja sama dalam membongkar kejahatan.

Apalagi, selama di pengadilan Richard tidak berbelit-belit memberikan keterangan, berlaku sopan, kooperatif, serta menyesali perbuatannya karena telah menghilangkan nyawa rekan kerjanya, Yosua.

Bharada E dinilai berperan besar membongkar kejahatan yang dibangun Ferdy Sambo selain adanya teriakan publik dan keluarga korban yang merasa janggal dengan kematian anaknya.

Richard juga dinilai ikut andil hingga proses persidangan sampai putusan berjalan dengan lancar. Alasannya, peran utama Bharada E mampu memberi keterangan yang berkesesuaian dan relevan dengan bukti serta saksi yang tersisa dan komitmen.

Salah satu hal terpenting dari kasus penjatuhan pidana terhadap Bharada E yakni bisa dijadikan sebagai pelajaran oleh anak buah untuk berani menolak perintah atasan yang keliru dan tidak sesuai dengan perintah undang undang.

Integritas dan konsistensi LPSK mengawal Bharada E membuktikan bahwa lembaga ini merupakan bagian tak terpisahkan dari ikhtiar meneguhkan hukum yang berkeadilan.