Kualitas layanan JKN untuk pasien dialisis dinilai meningkat
15 Februari 2023 14:29 WIB
Tangkapan layar Dokter kepresidenan RSPAD dan Penasehat Yayasan Jaga GinjaI Indonesia (JGI) dr. Jonny, SpPD-KGH, MKes, MM, DCN dalam diskusi daring "Peningkatan Pelayanan JKN bagi Pasien Dialisis", Rabu (15/2/2023) (ANTARA/HO)
Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto menilai kualitas pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi pasien dialisis akibat gagal ginjal meningkat
"Saya kira, pelayanan JKN bagi pasien dialisis di Indonesia sungguh luar biasa saat ini. Jelas sangat meningkat. Dari tahun ke tahun, kita perhatikan bahwa tidak sedikit perubahan yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dalam pelayanan dan Kemenkes dalam hal regulasi," kata dr. Jonny, SpPD-KGH, MKes, MM, DCN dalam diskusi daring, Rabu.
Salah satu yang disoroti oleh dokter kepresidenan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu adalah Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Dalam aturan terbaru itu, tarif non INA-CBG Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah sebesar Rp 8 juta per bulan, meningkat dari yang sebelumnya sebesar Rp 7,5 juta. Kenaikan itu, menurut Jonny adalah wujud perhatian pemerintah bagi pasien dialisis dan memberikan banyak fasilitas bagi rumah sakit.
"Ada beberapa hal yang mungkin pasien belum mengetahui bahwa untuk pelayanan hemodialisis di rumah sakit saat ini mengarah ke arah yang lebih baik, yaitu dengan penggunaan dialyzer-nya kebanyakan single use (sekali pakai)," katanya.
Agar program JKN dapat semakin baik, Jonny yang juga penasihat di Yayasan Jaga Ginjal Indonesia (JGI) merekomendasikan perubahan soal aturan menunggu selama tujuh hari sebelum memeriksakan diri ke dokter yang sama, rawat inap selama tiga hari, dan perbedaan jenis obat yang diberikan rumah sakit supaya tidak membingungkan pasien dan pengobatan semakin optimal.
"Beberapa usulan misalnya seperti menghapuskan rujukan berjenjang bagi pasien yang bersifat tetap, seperti yang tengah menjalani terapi Hemodialisis (HD) maupun Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)," kata Jonny.
Soal obat, menurut Jonny, ada baiknya segel dialyzer single use dibuka di depan pasien dan dikonfirmasikan kepada pasien.
"Untuk dosis obatnya pun harus selalu sesuai dengan yang diresepkan, di mana pun rumah sakitnya, dan lain sebagainya,” lanjutnya.
Gagal ginjal masih menjadi masalah serius yang perlu ditanggulangi di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, tingkat kejadian gagal ginjal kronik meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018.
Artinya, jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 yang mencapai 252.124.458 jiwa, sebanyak 713.783 jiwa di antaranya menderita gagal ginjal kronik dan sangat memerlukan terapi, salah satunya dialisis.
Gagal ginjal sendiri termasuk dalam pengelompokan katastropik pada program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, yang berarti penyakit tersebut memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menelan biaya yang tinggi.
"Saya kira, pelayanan JKN bagi pasien dialisis di Indonesia sungguh luar biasa saat ini. Jelas sangat meningkat. Dari tahun ke tahun, kita perhatikan bahwa tidak sedikit perubahan yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dalam pelayanan dan Kemenkes dalam hal regulasi," kata dr. Jonny, SpPD-KGH, MKes, MM, DCN dalam diskusi daring, Rabu.
Salah satu yang disoroti oleh dokter kepresidenan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu adalah Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Dalam aturan terbaru itu, tarif non INA-CBG Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah sebesar Rp 8 juta per bulan, meningkat dari yang sebelumnya sebesar Rp 7,5 juta. Kenaikan itu, menurut Jonny adalah wujud perhatian pemerintah bagi pasien dialisis dan memberikan banyak fasilitas bagi rumah sakit.
"Ada beberapa hal yang mungkin pasien belum mengetahui bahwa untuk pelayanan hemodialisis di rumah sakit saat ini mengarah ke arah yang lebih baik, yaitu dengan penggunaan dialyzer-nya kebanyakan single use (sekali pakai)," katanya.
Agar program JKN dapat semakin baik, Jonny yang juga penasihat di Yayasan Jaga Ginjal Indonesia (JGI) merekomendasikan perubahan soal aturan menunggu selama tujuh hari sebelum memeriksakan diri ke dokter yang sama, rawat inap selama tiga hari, dan perbedaan jenis obat yang diberikan rumah sakit supaya tidak membingungkan pasien dan pengobatan semakin optimal.
"Beberapa usulan misalnya seperti menghapuskan rujukan berjenjang bagi pasien yang bersifat tetap, seperti yang tengah menjalani terapi Hemodialisis (HD) maupun Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)," kata Jonny.
Soal obat, menurut Jonny, ada baiknya segel dialyzer single use dibuka di depan pasien dan dikonfirmasikan kepada pasien.
"Untuk dosis obatnya pun harus selalu sesuai dengan yang diresepkan, di mana pun rumah sakitnya, dan lain sebagainya,” lanjutnya.
Gagal ginjal masih menjadi masalah serius yang perlu ditanggulangi di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, tingkat kejadian gagal ginjal kronik meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018.
Artinya, jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 yang mencapai 252.124.458 jiwa, sebanyak 713.783 jiwa di antaranya menderita gagal ginjal kronik dan sangat memerlukan terapi, salah satunya dialisis.
Gagal ginjal sendiri termasuk dalam pengelompokan katastropik pada program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, yang berarti penyakit tersebut memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menelan biaya yang tinggi.
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023
Tags: