Jakarta (ANTARA News) - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melancarkan reformasi birokrasi yang berlaku pada sekitar 32 ribu pegawainya pada kurang lebih 500 kantor.




Dengan jumlah kantor sebanyak ini semestinya pelayanan pajak akan lebih memudahkan masyarakat. Dan soal ini memang diakui positif oleh Gunadi, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia.




Gunadi menilai pelayanan pajak menjadi semakin baik. Membayar pajak kini cukup di bank, NPWP bisa diberikan kapan saja selama 24 jam, sementara PKP dikukuhkan dengan lima hari kerja sehingga menekan kemungkinan terjadinya peredaran faktur pajak palsu.




Bukan itu saja, Gunadi mencatat, restitusi PPh pun menjadi setahun setelah SPT, PPN ekspor dibayar seminggu setelah SKPLB oleh kas negara, sedangkan Surat Bebas Potongan Pajak bisa keluar hanya dalam waktu tiga hari.




Itu adalah contoh dari sederet praktik-praktif layanan pajak yang dinilai reformatif oleh Gunadi.




"Instansi-instansi lain mungkin belum demikian, kecuali dalam pembuatan SIM, KTP dan beberapa surat lainnya," ungkapnya.




Gunadi tidak saja melihat banyak hal positif dari layanan pajak yang reformatif dari Ditjen Pajak. Dia memang melihat reformasi pada Ditjen Pajak memang cukup berhasil, dari banyak ukuran.




Baru-baru ini menurut survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ditjen Pajak memiliki nilai tinggi dalam integritas, sebesar 7,65. Ini jauh dari nilai rata-rata seluruh instansi yang disurvei, yakni 6.4. Bahkan angka itu jauh di atas standar KPK yakni 6,0.




Gunadi mengatakan, secara umum, walau ada beberapa oknum yang masih mau main mata, reformasi birokrasi pada Ditjen Pajak memang cukup berhasil.




Dia mengapresiasi tugas pegawai Pajak yang mengumpulan penghasilan negara sebesar Rp1.000 triliun tiap tahun. Dan ini dibarengi dengan efisiensi pada banyak hal, termasuk sistem pemungutan pajak.




Hal ini membuat Gunadi menyebut biaya pemungutuan pajak di Indonesia menjadi amat murah, dan tentu saja ini menguntungkan masyarakat.




Dia mencoba membandingkan pegawai Ditjen Pajak dengan pegawai bank, yang disebutnya jauh lebih efisien dan bermanfaat, karena berbeda dengan pegawai bank, pegawai pajak malah memungut uang dari Wajib Pajak untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat.




Sebaliknya, pegawai bank bertugas menyalurkan uang nasabah sebagi kredit investasi untuk yang berusaha. Di masa lalu, tugas ini dicoreng oleh adanya kredit macet seperti pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Obligasi Rekap yang nilainya ratusan triliun itu.




Tidak itu saja, Gunadi juga melihat Ditjen Pajak berhasil dalam mendisiplinkan aparatnya sehingga tidak saja bertanggungjawab kepada pekerjaannya, namun tanggungjawabnya kepada masyarakat.




Menurut survei KPK, penilaian inisiatif antikorupsi Ditjen Pajak pada 2010 menunjukkan hasil 9,73 dengan skala 10 untuk kode etik dan 9,82 untuk promosi antikorupsi.




"Terlepas beberapa oknum yang main mata dengan Wajib Pajak dan itu pun jumlahnya Rp250 juta (Tomy dan AS), Ditjen Pajak telah gigih dalam membersihkan pegawainya," kata Gunadi.




Dia menunjuk kasus Gayus Tambunan, Maruli, Bambang, JT, dan banyak oknum lainnya.




"Sebetulnya atas kuasa Pasal 14 UUKUP, DJP dapat membetulkan Surat Keputusan Keberatan sehingga tidak ada kerugian negara dan pegawai pajak pun bisa bebas dari hukuman. Ternyata, ini tidak dilakukan oleh Dirjen Pajak sehingga anak buahnya tetap dihukum," kata Gunadi.




Lalu, bandingkanlah langkah positif yang dilakukan Ditjen Pajak ini dengan instansi-instansi lain yang justru dengan segala dalih malah mati-matian melindungi anak buahnya yang salah. Ditjen Pajak jelas memiliki cara yang jauh lebih baik dalam menjaga integritas dan reputasinya.




Lembaga ini tidak beranggapan, mengadili stafnya yang berbuat nakal tidak diartikan sebagai "upaya mencoreng diri sendiri." Justru mereka sadar ini justru memperkuat reputasinya sebagai lembaga bersih.




Oleh karena itu, berbeda dari institusi-institusi lainnya, penerapan "whistleblowing system" pada Ditjen Pajak, jauh lebih mulus dan implementatif.




"Sejak whistleblowing systmen dikenalkan pada 2011, kebijakan ini sangat efektif dalam mencegah korupsi dan pelanggaran kode etik di Ditjen Pajak," kata Gunadi.




Salah satu keefektifan itu adalah satu kasus yang melibatkan pegawai pajak berinisial AS yang dilaporkan anak buahnya karena ketangkap tangan berbuat curang dalam pemungutan pajak.




Ini jelas syok terapi yang bagus. "Akibatnya pegawai pajak tidak mau mengambil risiko menyimpangkan

wewenangnya," kata Gunadi.




Narasumber: Gunadi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia