"Dengan penggunaan baliho malah menciptakan arogansi, pemborosan anggaran dan menghasilkan banyak sampah. Saya baru mengajukan ide karena ide ini juga masukan dari masyarakat. Baliho itu mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Kita tawarkan dulu, nanti kita rembuk dengan ketua-ketua partai," katanya.
Dalam undang-undang, KPU itu memfasilitasi kampanye berupa baliho, spanduk, dan umbul-umbul, serta bahan kampanye lainnya, misalnya flyer. "Kita ingin green election-lah, nggak usah lagi ada timbunan sampah plastik," kata dia.
Dia berharap kampanye dengan menggunakan media sosial maupun media massa lebih dipilih, karena para pemilih milenial dapat lebih mengenal sepak terjang calon pemimpin yang dipilihnya dengan baik melalui media sosial.
Dengan begitu, pemilu menjadi pentas pertarungan gagasan, kreativitas calon dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
Lidartawan mengatakan dengan metode kampanye menggunakan media sosial, itu dapat menekan ongkos politik dari pengeluaran dana yang mubazir untuk mencetak baliho. Apalagi berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan, kata dia, sekitar 30 persen anggota DPD di Kabupaten/Kota tidak mengambil baliho yang telah dicetak oleh KPU.
"Maksud kami mari kita membuat demokrasi ini lebih berisi. Jangan hanya di luarnya begini, di dalamnya masyarakat nggak tahu memilih siapa yang saya pilih. Apa yang sudah dibuat untuk bangsa dan negara. Ini kan penting buat mereka," kata dia.
Jika program tersebut disepakati bersama oleh partai politik, maka pihaknya akan membantu memfasilitasi setiap calon yang membuat kampanye dengan berbagai macam cara seperti pembuatan video pendek.
"Kampanye itu kan macam-macam, ada kampanye di medsos, kenapa nggak dioptimalkan saja itu. Kemudian kami juga punya videotron di Denpasar, di Buleleng, bahkan punya. Kita manfaatkan itu, lebih bergerak, lebih bisa dilihat oleh masyarakat ada gambar yang lebih menarik daripada hanya diam saja tidak potensial untuk mendewasakan pemilih," katanya.